ALIN
Oleh: Abdi Rahmatsah Siregar
Penyunting: gitarambe (ig)
Foto: denissadevy/analogdiction (ig)
Desain Sampul: irfanulyak (ig)
---
Bagian Kelima
Sepeninggalan para penjeguk, penghuni kamar lavendula tidak langsung pergi ke tempar peraduan, mereka masih bercakap-cakap ringan. Setelah setengah jam berlalu Masa menyarankan agar mereka menyudahi pembicaraan dan bergegas tidur. Alin sepakat. Masa pun mematikan lampu ruangan itu dan menyalakan lampu tidur. Kemudian Masa menuju ke arah sofa dan memilih sofa yang lebih panjang ukurannya sebagai tempat ia merebahkan badannya. Tidak butuh waktu yang lama Masa pun telah pulas dalam tidurnya.
Sementara itu, Alin masih berusaha untuk menutup hari ini. Ia berusaha memejamkan matanya. Semakin ia beruasaha, suara-suara yang di kepalanya tidak mau pergi, selalu saja seperti ini. Ini kebiasaan dirinya yang ia benci. Memikirkan hal-hal yang tidak ada habisnya tanpa ia dapati solusi. Hal ini pula lah yang membuatnya memilih minuman beralkohol sebagai pelampisaannya. Dan, ketika itu ia lakukan, sesaat suara-suara di kepalanya akan hilang ketika meminum itu.
Terkadang ia iri melihat orang yang memiliki banyak masalah tapi hidupnya selalu terlihat tenang, seolah semua tampak baik-baik saja. Suatu saat, ia berharap bisa seperti itu, diam dalam keramaian pikirannya. Begitu pula dengan orang-orang yang berpikiran sederhana. Beberapa kali Alin bertemu dengan orang-orang yang seperti ini. Ia selalu melihat orang-orang itu seperti tidak punya beban dalam kepala mereka. Tidak punya suara-suara yang menggangu pikiran.
Dalam benaknya saat ini, adalah memikirkan satu persatu kejadian dalam hidupnya. Mulai dari Masa yang tiba-tiba hadir lagi. Ia yang kini di rawat di rumah sakit dan yang menemani adalah Masa. Lalu, Annisya, siapa pula dokter muda itu? Tapi dari Masa memperlakukan Annisya, semua orang yang melihat kejadian tadi pasti menilai kalau mereka mempunyai hubungan spesial. Ada rasa cemburu di hati Alin. Tapi yang tidak Alin mengerti lagi adalah perlakuan Masa terhadapnya pun tidak kalah menggugah hati bagi siapa pun yang melihat. Farah pun membahas itu ketika hanya mereka berdua di kamar itu. Farah tadi mengatakan, mungkin Masa ingin memperbaiki kesalahannya dan memenangkan hati Alin lagi. Alin pun menyadari itu. Seperti tadi sore pun Alin memikiran itu, bagaimana kalau mereka memulai hubung lagi. Dan, apa yang dikatakan Farah, kini ada dipikiran Alin. Tapi dilain sisi, ia tidak ingin pikiran itu datang. Paling tidak jangan disaat ia masih menjadi istri seseorang yang saat ini ia tidak tahu keberadaannya. Kemudian terlintas pula lah dipikirannya pernikahan Farah dan Ryan. Sebab, tadi Ryan mengumumkan di depan mereka. Kalau tahun depan akan menikahi Farah. Dan itu sekitar 4 bulan lagi dari sekarang. Ketika Ryan mengumunkan kabar gembira itu. Alin pun gembira melihat sahabatnya yang akan menikah.
Ia pun teringat awal mula kenapa ia menikah.
Sebulan sudah Alin menjadi karyawan tetap dan sejauh ini belum ada hal yang membuat Alin terbebani. Hari ini, Alin menerima gaji pertama. Ini adalah hal baru baginya. Ia pun menghubungi Farah, menyampaikan maksudnya yaitu mentraktir Farah. Namun Farah tidak bisa. Sebab Farah sedang berada di luar kota dan baru kembali Senin sore. Tapi mereka sepakat untuk bertemu di akhir pekan yang akan datang.
Setelah menerima gaji setiap bulan, pulang tepat waktu adalah hal yang paling membahagiakan para pekerja. Begitu pula lah yang dirasakan oleh Alin. Sore itu, ia berada di lobi, menunggu ojol yang telah dipesannya beberapa menit yang lalu. Alin pun sibuk dengan ponselnya untuk menghilangkan kebosanan.
"Alin?" Suara itu membuat Alin menoleh kebelakang. Dan menemukan hanya ada seorang laki-laki. Alin pun menduga kalau suara itu berasal dari laki-laki ini. Tapi Alin merasa tidak mengenal orang ini.
"Iya?" Sambil dahi Alin berkerut ia berusaha memingat. Melihat raut wajah Alin laki-laki itu pun mengingatkan Alin sambil menjulurkan tangannya.
"Gue Ricki, temannya Andi."
Masih berusaha untuk mengingat Alin pun menyambut jabatan tangan itu. Lalu, "Ooo, Ricki! Maaf-maaf baru inget gue." Kata Alin seketika mengingat. "Tapi..."
"Iya, gue kurusan sekarang." Kata Ricki sambil menyeringai.
Alin tersenyum tipis.
"Lo kerja di sini?" Tanya Ricki.
"Iya."
"Sama dong kita. Bagi nomor lo lah." Pinta Ricki dengan nada yang manis.
Mendengar permintaan itu, Alin ragu.
"Boleh gak?" Tanya Ricki lagi. Seketika itu, pemberitahuan di ponsel Alin muncul. Ojol yang Alin pesanan telah Alin tiba.
"Jangan pelit-pelit. Kita satu kantor loh." Kata Ricki sedikit memaksa, seketika ia memperhatikan gerak-gerik Alin yang hendak pergi.
Mendengar itu Alin pun pasrah memberikan nomor ponselnya. Lalu bergegas Alin meninggalkan Ricki.
Keesokannya, kira-kira pukul 9 pagi. Ponsel Alin berbunyi. Satu pesan masuk. Dari nomor baru.
"Ini gue Ricki. Entar malam lo kemana? Keluar yok? Gue yang traktir."
Alin mengenal Ricki melalui temannya Andi beberapa tahun yang lalu. Perawakan Ricki, yang tinggi, besar, gemuk, berkulit hitam, bekas jerawatan yang berserakan diwajahnya membuat siapa pun pertama kali melihatnya merasa ngeri, tidak terkecuali Alin. Meski Ricki yang sekarang sudah lebih kurus dan wajahnya lebih bersih. Tapi bagi Alin kesan pertama itu masih terbawa sampai saat ini. Kali ini, Alin menolak ajakan Ricki.
Ricki termasuk senior Alin di perusahaan itu. Seluruh karyawan perusahaan tempat mereka bekerja mengenal Ricki, bukan karena prestasi, tapi karena bacotnya. Ini pun menjadi alasan Alin menghindari Ricki.Sejak pertama bertemu bagi Alin, Ricki sosok orang yang sok asik.
Ternyata Ricki tidak menyerah. Hampir setiap akhir pekan Ricki selalu mengajak Alin. Semenjak itu Alin selalu merasa diteror dan kali ini sudah keterlaluan. Alin yang sedang sibuk dengan pekerjaannya tiba-tiba didatangi oleh Ricki. Saat ini, ia duduk persis di depan meja Alin. Awalnya Alin tidak menggubris. Tapi setelah tiga puluh menit berlalu, Alin mulai risih.
" Ada apa sih?!" Tanya Alin ketus tanpa melihat Ricki.
Ricki tidak menjawab. Ia hanya menatap Alin sambil melipatkan kedua tangannya di dadanya.
"Woi! Gue ngomong sama lo." Kata Alin. Kali ini perhatiannya hilang terhadap pekerjaannya.
"Oh, ngomong sama gue." Sahut Ricki datar.
"Iya!"
"Gue mau ngajak lo keluar besok." Kata Ricki ketus. Seperti seorang senior yang kesal dengan hasil pekerjaan juniornya.
Alin diam dan pura-pura mengalihkan perhatiannya ke monitor komputer.
"Bisa gak?" Tanya Ricki yang telah menunggu jabawan beberapa detik.
"Mau ke mana sih?"
"Makan, nonton, karokean, minum terserah lo mau kemana." Jawab Ricki.
"Ya udah." Kata Alin datar.
"Oke. Besok gue jemput lo jam 7." Kata Ricki kemudian pergi.
Ketika jam pulang kantor tiba, Alin sedang merapikan meja kerjanya, Alin di datangi salah seorang temannya yang tadi memperhatikan kedatangan Ricki. Tanpa ada angin dan hujan, temannya itu memperingatkan Alin untuk berhati-hati terhadap Ricki.
Keesokannya, pukul 7 malam, seperti yang mereka sepakati, Alin pun telah berada di mobil Ricki. Mereka pun menuju mall terbesar di Jakarta Selatan. Awalnya mereka makan, setelah itu nonton bioskop, kemudian karokean, lalu minum. Semua yang ditawarkan oleh Ricki, Alin menyanggupinya. Sebab yang ada dipikiran Alin ini akan menjadi yang pertama dan terakhir. Pukul 3 dini hari baru lah Ricki mengantar Alin kembali. Tapi bukannya menjadi yang terakhir, hal ini pun terus berlanjut setiap akhir pekan. Hingga Alin dan Ricki berpacaran.
Ketika Alin memberi tahu Farah bahwa Alin dan Ricki pacaran. Kemudian Farah memastikan Ricki yang mana. Farah terkejut setengah mati, kalau yang Alin maksud Ricki teman Andi. Saat itu, Farah mengatakan kalau Alin kena pelet. Tapi Alin tidak peduli. Yang Alin pedulikan ia telah memiliki pacar baru. Terserah Farah dan orang-orang mengatakan Ricki seperti apa. Alin tidak peduli.
Setahun berlalu, hari ini Alin dan Ricki akan merayakan hari jadi mereka. Rencana telah Ricki susun dan Alin sama sekali tidak tahu. Mereka menuju ke sebuah hotel bintang lima. Kini mereka berada di lounge hotel itu. Mereka pun makan malam romantis. Alin menjadi perempuan yang paling bahagia. Setelah makan malam mereka selesai. Ricki memberikan Alin sehelai kain putih penutup mata dan meminta Alin untuk memakainya. Alin pun dengan senang hati menuruti Ricki. Setelah itu Ricki membawa Alin ke sebuah kamar. Kamar sebelumnya telah Ricki tata sesyahdu mungkin. Lampu yang sedikit remang-remang, kelopak-kelopak mawar yang berserakan dilantai, dan sekotak kado berwarna hitam serta sebotol wine yang diletakkan di atas kasur yang juga ditaburi kelopak mawar. Sesampainya dikamar Ricki membuka kain penutup mata Alin. Alin pun membuka matanya, memperhatikan keadaan sekitar. Ia pun spontan memberikan ciuman di pipi kiri Ricki.
Begitu lah hati, sangat mudah untuk dibolak-balik oleh Sang Pemiliknya. Jika dulu merasa ngeri melihat Ricki, kemudian iba dengan perjuangan Ricki, lalu perasaan nyaman muncul di hati, hingga saat ini menurut Alin ia telah menemukan cinta pada orang yang tepat. Saat ini Alin bahagia.
Alin pun menuju kasur dan meraih kado tersebut. Setelah ia melihat ke arah Ricki dan Ricki pun mengangguk tersenyum. Alin membuka kotak hitam itu. Dan, isinya adalah mawar-mawar yang dirangkai sedemikian indah lalu dibagian tengahnya ada kotak kecil lagi. Seketika, jantung Alin berdebar. Alin melihat ke arah Ricki lagi yang berdiri diseberangnya memperhatikannya. Ricki pun mengangguk tersenyum. Alin mengambil kotak kecil itu dan meletakkan sembarang kotak yang lebih besar itu di atas kasur. Dan, setelah Alin membukanya, sebuah cincin emas putih yang begitu mengkilap. Alin meneteskan air mata, ia terharu. Melihat itu Ricki mendekati Alin dan memeluk Alin dari belakang. Beberapa detik. Alin pun meminta Ricki memakainya pada jari manis tangan kirinya. Kini cincin itu melingkar di jari Alin.
Ricki membuka botol wine dan langsung menenggaknya. Kemudian ia tawarkan pada Alin. Alin pun meminumnya dengan perasaan bahagia yang menyertainya. Dan, mereka menghabiskan malam yang panjang di kamar hotel itu.
Awalnya semua baik-baik saja. Namun hampir dua bulan dari malam anniversary Alin menyadari kalau ia belum juga menstruasi. Sepulang dari kantor, ia pun ke apotik untuk membeli test pack. Sesampainya di rumah Alin mencoba alat itu, dengan perasaan berdebar-debar, Alin pun mengikuti petunjuk pada kemasan alat tersebut. Positif, pikir Alin. Ada perasaan bahagia yang muncul pada dirinya. Namun Alin masih ragu. Ia pun mencoba sekali lagi dengan alat yang baru. Dan, hasilnya sama.
Alin mengambil ponselnya. Memfoto dua alat test pack itu. Kemudian mengirimnya kepada Ricki dengan keterangan, "aku hamil." Tidak begitu lama Ricki pun membalas pesan tersebut. "Enggak mungkin. Lagian bisa jadi bukan karena aku."
Alin tidak kuasa membaca itu seluruh tubuhnya menjadi lemas. Ia berusaha mengendalikan dirinya. Setelah itu, Alin menelepon Ricki.
"Maksud kamu apa, bukan karena aku?" Tanya Alin lirih. Matanya sudah berkaca-kaca.
"Iya kan bisa jadi bukan aku. Itu dua bulan yang lalu. Setelah itu kan kamu pernah minum lagi dengan teman-teman satu divisi kamu." Jawab Ricki ketus.
"Kamu nuduh aku tidur sama laki-laki lain gitu?"
Ricki tidak menjawab.
"Ricki cuma ada kamu dihati aku Ki." Alin memelas. Air matanya pun jatuh.
"Udahlah kan bisa digugurkan." Kata Ricki datar dan memutuskan obrolan mereka.
"Halo... Ki!, Halo... Ki!"
Saat itu, Alin merasa ruangan kamarnya itu begitu sempit hingga dadanya begitu sesak. Ia pun menangisi dirinya sendiri.
"Gimana mau tidur. Kamu ngoroknya kenceng banget." Jawab Alin mengelak. Karena bila Alin menjawab belum mengantuk, bisa panjang lagi urusannya jika dengan Masa.
"Eh, masa sih?" Kata Masa.
Alin mengangguk pelan. Masa memang mendengkur tapi hanya sesekali, tidak seperti yang Alin dikatakan.
"Maaf deh." Kata Masa merasa bersalah. Alin hanya tersenyum. "Aku ke toilet dulu." Kata Masa, yang terbangun karena memang ingin buang air kecil.
Sekembalinya dari toilet, Masa telah membasahi wajahnya untuk menghilangkan rasa ngantuk. Masa kini duduk di kursi yang berada di sisi Alin. Tanpa ada aba-aba Masa memijat bagian tulang kering kaki kiri Alin, membuat syaraf-syaraf Alin menegang karena terkejut dengan perbuatan Masa.
"Jangan ditegangin Lin, santai aja." Kata Masa yang menyadari sikap Alin. "Dulu juga kamu senang diurut begini." Lanjut Masa tanpa melihat Alin. Alin pun mulai bersikap normal. Tapi dalam hatinya ia mengingat dulu Masa memang sering memijat kakinya. Mulai dari ia yang pernah terkilir karena jatuh dari tangga kampus sampai dengan kakinya yang selalu kram ketika menemani Masa berolah raga.
Kemudian Masa melanjutkan ke sebelah kanan. Setelah setengah jam, tanpa mereka ngeluarkan suara satu sama lain Alin pun tertidur pulas, Masa pun menghentikan. Dan, melanjutkan tidurnya.
Kira-kira pukul setengah delapan pagi, Masa terbangun karena ponsel Alin berdering. Setelah Masa melihat layarnya yang muncul adalah nama Farah, Masa pun menjawab panggilan Farah itu. Farah memberi tahu kalau ia di depan pintu. Dan, datang Alin masih tidur.
Setelah Masa melahap bubur ayam yang dibawa oleh Farah. Masa pun pergi meninggalkan mereka untuk menjemput si Bibi dan Rosana. Dan, Alin tetap masih tidur.
Sebelum Masa menjemput si Bibi dan Rosana, Masa ke rumahnya terlebih dahulu. Sesampainya di rumahnya Masa, mandi, menyeduh kopi menuangkannya di termos kecil untuk di bawa dan mengganti pakaian beserta membawa salinan secukupnya. Masa jadi teringat kalau ransel dan termosnya pun ada yang tertinggal di rumah Alin. Setelah itu persiapan selesai Masa pun pergi meninggalkan rumah kecilnya yang baru ia beli beberapa bulan yang lalu. Bagi Masa membeli rumah sebelum menikah dengan keringat sendiri adalah salah satu mimpinya yang terwujud.
Hari cukup cerah dan jalanan pun masih sepi begitu pula dengan jalan tol. Kira-kira pukul setengah sebelah Masa telah sampai di rumah Alin dan si Bibi pun telah menunggu Masa. Setelah memasukkan koper kecil dan rantang bersusun ke bagasi mobil. Setelah itu mereka pun menuju rumah sakit.
Sejak awal, ketika mereka menaiki mobil Rosana sudah meronta-ronta dari gendongan si Bibi untuk bisa duduk dipangkuan Masa yang sedang menyetir. Tetapi Bibi mencoba menenangkan Rosana, karena si Bibi tidak mau menggangu Masa yang sedang menyetir. Hingga akhirnya Masa yang meminta agar Rosana duduk bersamanya. Rosana girangnya bukan main. Rosana mulai meracau. Mengeluarkan bahasa yang hanya ia yang sendiri mengerti. Sesekali Masa meladeni Rosana dalam meracau. Dengan posisi berdiri, Rosana ikut membantu Masa menyetir. Lalu menunjuki apa saja yang menarik perhatiannya. Bagi Rosana mungkin ini adalah baru, melihat gedung-gedung yang menjulang tinggi. Sedari Rosana duduk dipangkuan Masa, mobil mereka melaju dengan santai. Akhirnya Rosana lelah dan tertidur dipangkuan Masa.
"Non Alin gimana keadaannya Mas?" Tanya Bibi setelah bibi menyadari kalau Rosana tertidur.
"Udah baikan Bi. Mungkin besok udah bisa pulang." Jawab Masa. "Udah berapa lama bareng Alin Bi?"
"Baru jalan empat tahun Mas." Jawab Si Bibi sopan.
"Kok baru sih Bi. Lumayan lama itu Bi. Asli mana Bi?"
"Saya asli Jawa Mas."
"Ooo... Ngomong-ngomong bapaknya emang kemana Bi?" Tanya Masa menyelidiki. Yang ingin mengetahui siapa dan di mana ayah Rosana. Kalau ibu Rosana. Masa tidak perlu mencari tahu jawabannya. Karena dengan melihat mata, hidung, tahi lalat yang ada pada Rosana saja Masa dari awal bertemu sudah mengetahui kalau Alin adalah ibunya. Dan, jika melihat Rosana, Masa langsung teringat pada Alin. Namun siapa ayah Rosana, Masa masih penasaran. Masa berharap si Bibi bisa memberikan jawaban untuk menghilangkan tanya.
"Bapak siapa Mas?" Bibi balik bertanya. "Bapaknya Non Alin atau bapaknya Kakak?" Si Bibi mempertegas pertanyaannya.
"Dua-duanya."
"Kalau bapaknya Non Alin kan udah meninggal Mas."
"Innalillahi." Masa terkejut. Masa tidak menyangka kalau ayah Alin sudah meninggal. Sebab Masa mengira ayah Alin tidak ada di rumah pasti keluar kota karena dulu Alin selalu bercerita kalau ayahnya sering pergi atau pindah rumah karena Alin sudah menikah. "Kapan Bi?" Tanya Masa.
"Belum lama Mas, belum ada dua tahu. Yang pasti sebulan setelah Non Alin menikah Mas."
Masa diam. Sendi-sendinya menjadi terasa lemas mendengar si Bibi berkata, setelah Non Alin menikah. Bagi Masa itu memperjelas semuanya dan kalimat itu membuat Masa hancur. Masa merasa semuanya sirna. Sebab selama ini, Masa telah berjanji ingin memulai hidup baru, akan menjauhi Alin, tidak akan menghubungi Alin, mencari pengganti Alin. Tapi ternyata selalu ada dihati kecil Masa tersimpan keinginan untuk hidup bersama, menikah dengan Alin. Meski, kemarin saat Masa pertama kali melihat Rosana, seketika menyadari kalau Rosana adalah anak Alin. Masa masih tetap saja menyimpan keinginannya itu. Dan saat ini, ketika mendengar kenyataan kalau Alin sudah menikah baru lah Masa merasa semacam ada besi panas yang ditusukkan tepat di dadanya dan menembus hatinya. Ketika seperti ini ingin sekali Masa menyalakan rokoknya dan menghisapnya dalam-dalam. Tapi ia teringat kalau ada anak kecil di mobil itu. Ia pun menghela nafas panjang. Tapi tetap diam.
Bibi tidak menyadari perubahaan wajah Masa. Karena Masa diam saja si Bibi pun berkata, "Kalau bapaknya Kakak udah sebulan Mas belum pulang. Kasihan Non Alin dan Kakak Mas."
Masa hanya diam.
"Suami enggak tahu di untung itu Mas. Saya kesal melihat suaminya itu." Si Bibi geram.
"Emangnya kenapa Bi?"' Tanya Masa yang mulai bisa mengendalikan dirinya.
Si Bibi pun mulia bercerita, "Jadi Mas, pernikahan Non Alin sama suaminya itu udah kayak di sinetron. Hamil sebelum menikah."
Masa mendengarkan.
"Awalnya, suaminya itu enggak mau tanggung jawab Mas. Kabur malah dari Jakarta. Untungnya Bapak punya banyak kenalan Mas. Ketemunya ini orang ada di luar negeri Mas, di Singapura kalau enggak salah. Terus ditangkap. Disuruh milih menikahi Non Alin atau masuk penjara."
"Siapa nama suaminya Bi?" Masa memotong pembicara.
"Ricki, Mas." Jawab si Bibi merasa jijik mengingat suami Alin. "Terus Mas, menikahnya aja bukan di Jakarta Mas. Ya di sana Mas dan mereka sebenarnya sama Bapak disuruh tinggal di sana Mas. Tapi baru sebulan mereka menikah. Bapak meninggal dan tinggal di Jakarta lagi sampai sekarang."
"Saya enggak tahu Mas, kok bisa Non Alin menikah sama orang kayak begitu."
"Emangnya kenapa Bi?"
"Kasar Mas. Suka mabok-mabokan. Sama Non Alin sering ribut. Udah gitu mukanya serem lagi. Ih, amit-amit. Untung aja Kakak mirip Non Alin Mas."
"Gak boleh gitu Bi."
"Udah gitu Mas, mobilnya penginggalan Bapak banyak dijual sama dia. Yang tersisa ya ini sama satu lagi yang di rumah itu mobilnya Non Alin."
Masa pun jadi teringat kalau ayah Alin memang sangat suka mengoleksi mobil tua.
"Ngomong-ngomong Mas Masa mantannya Non Alin ya?" Tanya si Bibi tiba-tiba.
Mendengar pertanyaan si Bibi, Masa sedikit gugup. "Kenapa Bibi bilang saya mantannya?" Masa balik bertanya untuk menutupi kegugupannya.
"Mastiin aja Mas. Tadi juga Mbak Farah nelepon, terus saya nanya Mas Masa itu siapa."
"Terus Farah jawab apa Bi?" Sela Masa.
"Ya itu, kata Mbak Farah, Mas Masa mantannya Non Alin."
"Terus dia ngomong apa lagi?"
"Cuma itu aja Mas. Paling tadi pesennya, suruh bersihin kamar Non Alin, seprai dan gordennya nyuruh diganti Mas." Bibi menjelaskan.
"Oh, iya Bi, saya juga mau pesen itu sih tadinya. Habisnya kemarin pas saya masuk itu, kamarnya Alin pengap banget Bi."
"Iya Mas. Saya mau gimana ya Mas, kalau enggak disuruh bersihin sama Non Alin saya juga enggak berani Mas."
Tiba-tiba semuanya diam.
"Jadi Mas Masa mantannya Non Alin?" Tanya Si Bibi yang masih penasaran.
"Iya Bi." Jawab Masa menoleh ke belakang sambil tersenyum kepada si Bibi. Emang kenapa Bi?" Tanya Masa ramah.
"Yo ndak opo-opo Mas. Mastiin." Balas Si Bibi.
Mereka pun sudah berada di pakiran bawah tanah gedung tempat Alin dirawat. Ketika mesin mobil dimatikan, Rosana pun terbangun dari tidurnya. Masa menggendong Rosana dan menyandang ransel hitamnya. Si Bibi membawa koper kecil dan rantang. Mereka langsung menuju lift dan ke lantai 5.
Alin dan Farah sedang bercakap-cakap. Tiba-tiba "Kakak... Mama rindu sayang." Kata Alin sambil merentangkan tangannya seketika melihat Masa dengan Rosana muncul dan di susul oleh Si Bibi. Alin sudah duduk dengan normal tanpa disanggah lagi oleh ranjangnya. Selang nasal kanul pada hidungnya pun sudah dilepas.
Tapi Rosana hanya memperhatikan Alin, kemudian melihat selang infus yang ada pada lengan Alin. Rosana pun tidak mau lepas dari gendongan Masa.
"Ini Mama nak." Suara Alin tercekat. Sementara itu, Masa hanya memperhatikan adalah betapa cantiknya Alin dengan rambut pendeknya yang diikat kebelakang sehingga memperlihatkan tengkuk Alin. Rosana memeluk leher Masa barulah ia tersadar.
"Kakak cantik ini Mama loh. Mama kamu lagi sakit." Masa menjelaskan seperti anak kecil "Lihat tuh" Masa menunjukkan botol infus yang menggantung, Rosana pun memperhatikan apa yang ditunjuk oleh Masa, kemudian Masa menunjukkan selang yang berakhir pada lengan Alin. Setelah itu, Masa dan Rosana saling bertatap-tatap lalu Rosana menoleh kepada Alin. Kemudian menatap Masa lagi dan Masa tersenyum. Setelah itu baru lah Rosana mau lepas dari Masa dan kini berada dipangkuan Alin.
Adalah hal yang wajar jika Rosana merasa asing dengan Alin. Sebab Rosana sudah sebulan tidak melihat Alin. Farah dan si Bibi merasa iba dengan pemandangan yang mereka lihat.
Terkadang ia iri melihat orang yang memiliki banyak masalah tapi hidupnya selalu terlihat tenang, seolah semua tampak baik-baik saja. Suatu saat, ia berharap bisa seperti itu, diam dalam keramaian pikirannya. Begitu pula dengan orang-orang yang berpikiran sederhana. Beberapa kali Alin bertemu dengan orang-orang yang seperti ini. Ia selalu melihat orang-orang itu seperti tidak punya beban dalam kepala mereka. Tidak punya suara-suara yang menggangu pikiran.
Dalam benaknya saat ini, adalah memikirkan satu persatu kejadian dalam hidupnya. Mulai dari Masa yang tiba-tiba hadir lagi. Ia yang kini di rawat di rumah sakit dan yang menemani adalah Masa. Lalu, Annisya, siapa pula dokter muda itu? Tapi dari Masa memperlakukan Annisya, semua orang yang melihat kejadian tadi pasti menilai kalau mereka mempunyai hubungan spesial. Ada rasa cemburu di hati Alin. Tapi yang tidak Alin mengerti lagi adalah perlakuan Masa terhadapnya pun tidak kalah menggugah hati bagi siapa pun yang melihat. Farah pun membahas itu ketika hanya mereka berdua di kamar itu. Farah tadi mengatakan, mungkin Masa ingin memperbaiki kesalahannya dan memenangkan hati Alin lagi. Alin pun menyadari itu. Seperti tadi sore pun Alin memikiran itu, bagaimana kalau mereka memulai hubung lagi. Dan, apa yang dikatakan Farah, kini ada dipikiran Alin. Tapi dilain sisi, ia tidak ingin pikiran itu datang. Paling tidak jangan disaat ia masih menjadi istri seseorang yang saat ini ia tidak tahu keberadaannya. Kemudian terlintas pula lah dipikirannya pernikahan Farah dan Ryan. Sebab, tadi Ryan mengumumkan di depan mereka. Kalau tahun depan akan menikahi Farah. Dan itu sekitar 4 bulan lagi dari sekarang. Ketika Ryan mengumunkan kabar gembira itu. Alin pun gembira melihat sahabatnya yang akan menikah.
Ia pun teringat awal mula kenapa ia menikah.
***
Setelah wisuda, Alin pun mulai melamar ke perusahaan-perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan. Selama ini Alin mengira mencari pekerjaan bakal mudah. Tapi ternyata sangat sulit. Meski pun ia lulusan sarjana.
Saban hari ia, mengirim surel yang berisi lamarannya. Tapi balasan tidak pernah ada. Ingin rasanya ia menyerah. Tapi Alin sadar satu hal, mungkin bukan hanya dia saja bernasib seperti itu, bisa jadi seluruh negeri ini, lulusan sarjana kesulitan mencari pekerjaan. Buktinya isu angka pengangguran yang terus bertambah sering di beritakan ditelevisi. Harus berapa banyak lagi ini, terkadang pertanyaan itu muncul di kepalanya. Ketika itu ia sudah lelah dan belum ada satu pun perusahaan yang menggubris lamarannya. Sebenarnya pernah ia ditawarkan pekerjaan diperusahaan kenalan ayahnya atau bekerja di kantor ayahnya, disalah satu instansi pemerintahan namun Alin menolak.
Hingga beberapa bulan kemudian. Baru lah ada perusahaan yang memanggilnya untuk mengikuti seleksi. Setelah melewati beberapa tahap. Ia pun berhasil dan ia mengikuti pelatihan selama dua bulan. Setelah itu, baru lah Alin sah menjadi karyawan di perusahaan sepeda motor yang berskala internasional dan perusahaan itu menugaskan Alin di divisi keuangan.
Saban hari ia, mengirim surel yang berisi lamarannya. Tapi balasan tidak pernah ada. Ingin rasanya ia menyerah. Tapi Alin sadar satu hal, mungkin bukan hanya dia saja bernasib seperti itu, bisa jadi seluruh negeri ini, lulusan sarjana kesulitan mencari pekerjaan. Buktinya isu angka pengangguran yang terus bertambah sering di beritakan ditelevisi. Harus berapa banyak lagi ini, terkadang pertanyaan itu muncul di kepalanya. Ketika itu ia sudah lelah dan belum ada satu pun perusahaan yang menggubris lamarannya. Sebenarnya pernah ia ditawarkan pekerjaan diperusahaan kenalan ayahnya atau bekerja di kantor ayahnya, disalah satu instansi pemerintahan namun Alin menolak.
Hingga beberapa bulan kemudian. Baru lah ada perusahaan yang memanggilnya untuk mengikuti seleksi. Setelah melewati beberapa tahap. Ia pun berhasil dan ia mengikuti pelatihan selama dua bulan. Setelah itu, baru lah Alin sah menjadi karyawan di perusahaan sepeda motor yang berskala internasional dan perusahaan itu menugaskan Alin di divisi keuangan.
Sebulan sudah Alin menjadi karyawan tetap dan sejauh ini belum ada hal yang membuat Alin terbebani. Hari ini, Alin menerima gaji pertama. Ini adalah hal baru baginya. Ia pun menghubungi Farah, menyampaikan maksudnya yaitu mentraktir Farah. Namun Farah tidak bisa. Sebab Farah sedang berada di luar kota dan baru kembali Senin sore. Tapi mereka sepakat untuk bertemu di akhir pekan yang akan datang.
Setelah menerima gaji setiap bulan, pulang tepat waktu adalah hal yang paling membahagiakan para pekerja. Begitu pula lah yang dirasakan oleh Alin. Sore itu, ia berada di lobi, menunggu ojol yang telah dipesannya beberapa menit yang lalu. Alin pun sibuk dengan ponselnya untuk menghilangkan kebosanan.
"Alin?" Suara itu membuat Alin menoleh kebelakang. Dan menemukan hanya ada seorang laki-laki. Alin pun menduga kalau suara itu berasal dari laki-laki ini. Tapi Alin merasa tidak mengenal orang ini.
"Iya?" Sambil dahi Alin berkerut ia berusaha memingat. Melihat raut wajah Alin laki-laki itu pun mengingatkan Alin sambil menjulurkan tangannya.
"Gue Ricki, temannya Andi."
Masih berusaha untuk mengingat Alin pun menyambut jabatan tangan itu. Lalu, "Ooo, Ricki! Maaf-maaf baru inget gue." Kata Alin seketika mengingat. "Tapi..."
"Iya, gue kurusan sekarang." Kata Ricki sambil menyeringai.
Alin tersenyum tipis.
"Lo kerja di sini?" Tanya Ricki.
"Iya."
"Sama dong kita. Bagi nomor lo lah." Pinta Ricki dengan nada yang manis.
Mendengar permintaan itu, Alin ragu.
"Boleh gak?" Tanya Ricki lagi. Seketika itu, pemberitahuan di ponsel Alin muncul. Ojol yang Alin pesanan telah Alin tiba.
"Jangan pelit-pelit. Kita satu kantor loh." Kata Ricki sedikit memaksa, seketika ia memperhatikan gerak-gerik Alin yang hendak pergi.
Mendengar itu Alin pun pasrah memberikan nomor ponselnya. Lalu bergegas Alin meninggalkan Ricki.
Keesokannya, kira-kira pukul 9 pagi. Ponsel Alin berbunyi. Satu pesan masuk. Dari nomor baru.
"Ini gue Ricki. Entar malam lo kemana? Keluar yok? Gue yang traktir."
Alin mengenal Ricki melalui temannya Andi beberapa tahun yang lalu. Perawakan Ricki, yang tinggi, besar, gemuk, berkulit hitam, bekas jerawatan yang berserakan diwajahnya membuat siapa pun pertama kali melihatnya merasa ngeri, tidak terkecuali Alin. Meski Ricki yang sekarang sudah lebih kurus dan wajahnya lebih bersih. Tapi bagi Alin kesan pertama itu masih terbawa sampai saat ini. Kali ini, Alin menolak ajakan Ricki.
Ricki termasuk senior Alin di perusahaan itu. Seluruh karyawan perusahaan tempat mereka bekerja mengenal Ricki, bukan karena prestasi, tapi karena bacotnya. Ini pun menjadi alasan Alin menghindari Ricki.Sejak pertama bertemu bagi Alin, Ricki sosok orang yang sok asik.
Ternyata Ricki tidak menyerah. Hampir setiap akhir pekan Ricki selalu mengajak Alin. Semenjak itu Alin selalu merasa diteror dan kali ini sudah keterlaluan. Alin yang sedang sibuk dengan pekerjaannya tiba-tiba didatangi oleh Ricki. Saat ini, ia duduk persis di depan meja Alin. Awalnya Alin tidak menggubris. Tapi setelah tiga puluh menit berlalu, Alin mulai risih.
" Ada apa sih?!" Tanya Alin ketus tanpa melihat Ricki.
Ricki tidak menjawab. Ia hanya menatap Alin sambil melipatkan kedua tangannya di dadanya.
"Woi! Gue ngomong sama lo." Kata Alin. Kali ini perhatiannya hilang terhadap pekerjaannya.
"Oh, ngomong sama gue." Sahut Ricki datar.
"Iya!"
"Gue mau ngajak lo keluar besok." Kata Ricki ketus. Seperti seorang senior yang kesal dengan hasil pekerjaan juniornya.
Alin diam dan pura-pura mengalihkan perhatiannya ke monitor komputer.
"Bisa gak?" Tanya Ricki yang telah menunggu jabawan beberapa detik.
"Mau ke mana sih?"
"Makan, nonton, karokean, minum terserah lo mau kemana." Jawab Ricki.
"Ya udah." Kata Alin datar.
"Oke. Besok gue jemput lo jam 7." Kata Ricki kemudian pergi.
Ketika jam pulang kantor tiba, Alin sedang merapikan meja kerjanya, Alin di datangi salah seorang temannya yang tadi memperhatikan kedatangan Ricki. Tanpa ada angin dan hujan, temannya itu memperingatkan Alin untuk berhati-hati terhadap Ricki.
Keesokannya, pukul 7 malam, seperti yang mereka sepakati, Alin pun telah berada di mobil Ricki. Mereka pun menuju mall terbesar di Jakarta Selatan. Awalnya mereka makan, setelah itu nonton bioskop, kemudian karokean, lalu minum. Semua yang ditawarkan oleh Ricki, Alin menyanggupinya. Sebab yang ada dipikiran Alin ini akan menjadi yang pertama dan terakhir. Pukul 3 dini hari baru lah Ricki mengantar Alin kembali. Tapi bukannya menjadi yang terakhir, hal ini pun terus berlanjut setiap akhir pekan. Hingga Alin dan Ricki berpacaran.
Ketika Alin memberi tahu Farah bahwa Alin dan Ricki pacaran. Kemudian Farah memastikan Ricki yang mana. Farah terkejut setengah mati, kalau yang Alin maksud Ricki teman Andi. Saat itu, Farah mengatakan kalau Alin kena pelet. Tapi Alin tidak peduli. Yang Alin pedulikan ia telah memiliki pacar baru. Terserah Farah dan orang-orang mengatakan Ricki seperti apa. Alin tidak peduli.
Setahun berlalu, hari ini Alin dan Ricki akan merayakan hari jadi mereka. Rencana telah Ricki susun dan Alin sama sekali tidak tahu. Mereka menuju ke sebuah hotel bintang lima. Kini mereka berada di lounge hotel itu. Mereka pun makan malam romantis. Alin menjadi perempuan yang paling bahagia. Setelah makan malam mereka selesai. Ricki memberikan Alin sehelai kain putih penutup mata dan meminta Alin untuk memakainya. Alin pun dengan senang hati menuruti Ricki. Setelah itu Ricki membawa Alin ke sebuah kamar. Kamar sebelumnya telah Ricki tata sesyahdu mungkin. Lampu yang sedikit remang-remang, kelopak-kelopak mawar yang berserakan dilantai, dan sekotak kado berwarna hitam serta sebotol wine yang diletakkan di atas kasur yang juga ditaburi kelopak mawar. Sesampainya dikamar Ricki membuka kain penutup mata Alin. Alin pun membuka matanya, memperhatikan keadaan sekitar. Ia pun spontan memberikan ciuman di pipi kiri Ricki.
Begitu lah hati, sangat mudah untuk dibolak-balik oleh Sang Pemiliknya. Jika dulu merasa ngeri melihat Ricki, kemudian iba dengan perjuangan Ricki, lalu perasaan nyaman muncul di hati, hingga saat ini menurut Alin ia telah menemukan cinta pada orang yang tepat. Saat ini Alin bahagia.
Alin pun menuju kasur dan meraih kado tersebut. Setelah ia melihat ke arah Ricki dan Ricki pun mengangguk tersenyum. Alin membuka kotak hitam itu. Dan, isinya adalah mawar-mawar yang dirangkai sedemikian indah lalu dibagian tengahnya ada kotak kecil lagi. Seketika, jantung Alin berdebar. Alin melihat ke arah Ricki lagi yang berdiri diseberangnya memperhatikannya. Ricki pun mengangguk tersenyum. Alin mengambil kotak kecil itu dan meletakkan sembarang kotak yang lebih besar itu di atas kasur. Dan, setelah Alin membukanya, sebuah cincin emas putih yang begitu mengkilap. Alin meneteskan air mata, ia terharu. Melihat itu Ricki mendekati Alin dan memeluk Alin dari belakang. Beberapa detik. Alin pun meminta Ricki memakainya pada jari manis tangan kirinya. Kini cincin itu melingkar di jari Alin.
Ricki membuka botol wine dan langsung menenggaknya. Kemudian ia tawarkan pada Alin. Alin pun meminumnya dengan perasaan bahagia yang menyertainya. Dan, mereka menghabiskan malam yang panjang di kamar hotel itu.
Awalnya semua baik-baik saja. Namun hampir dua bulan dari malam anniversary Alin menyadari kalau ia belum juga menstruasi. Sepulang dari kantor, ia pun ke apotik untuk membeli test pack. Sesampainya di rumah Alin mencoba alat itu, dengan perasaan berdebar-debar, Alin pun mengikuti petunjuk pada kemasan alat tersebut. Positif, pikir Alin. Ada perasaan bahagia yang muncul pada dirinya. Namun Alin masih ragu. Ia pun mencoba sekali lagi dengan alat yang baru. Dan, hasilnya sama.
Alin mengambil ponselnya. Memfoto dua alat test pack itu. Kemudian mengirimnya kepada Ricki dengan keterangan, "aku hamil." Tidak begitu lama Ricki pun membalas pesan tersebut. "Enggak mungkin. Lagian bisa jadi bukan karena aku."
Alin tidak kuasa membaca itu seluruh tubuhnya menjadi lemas. Ia berusaha mengendalikan dirinya. Setelah itu, Alin menelepon Ricki.
"Maksud kamu apa, bukan karena aku?" Tanya Alin lirih. Matanya sudah berkaca-kaca.
"Iya kan bisa jadi bukan aku. Itu dua bulan yang lalu. Setelah itu kan kamu pernah minum lagi dengan teman-teman satu divisi kamu." Jawab Ricki ketus.
"Kamu nuduh aku tidur sama laki-laki lain gitu?"
Ricki tidak menjawab.
"Ricki cuma ada kamu dihati aku Ki." Alin memelas. Air matanya pun jatuh.
"Udahlah kan bisa digugurkan." Kata Ricki datar dan memutuskan obrolan mereka.
"Halo... Ki!, Halo... Ki!"
Saat itu, Alin merasa ruangan kamarnya itu begitu sempit hingga dadanya begitu sesak. Ia pun menangisi dirinya sendiri.
***
"Kamu belum tidur?" Tanya Masa tiba-tiba memecah lamunan Alin. Ketika itu sudah lewat pukul tiga."Gimana mau tidur. Kamu ngoroknya kenceng banget." Jawab Alin mengelak. Karena bila Alin menjawab belum mengantuk, bisa panjang lagi urusannya jika dengan Masa.
"Eh, masa sih?" Kata Masa.
Alin mengangguk pelan. Masa memang mendengkur tapi hanya sesekali, tidak seperti yang Alin dikatakan.
"Maaf deh." Kata Masa merasa bersalah. Alin hanya tersenyum. "Aku ke toilet dulu." Kata Masa, yang terbangun karena memang ingin buang air kecil.
Sekembalinya dari toilet, Masa telah membasahi wajahnya untuk menghilangkan rasa ngantuk. Masa kini duduk di kursi yang berada di sisi Alin. Tanpa ada aba-aba Masa memijat bagian tulang kering kaki kiri Alin, membuat syaraf-syaraf Alin menegang karena terkejut dengan perbuatan Masa.
"Jangan ditegangin Lin, santai aja." Kata Masa yang menyadari sikap Alin. "Dulu juga kamu senang diurut begini." Lanjut Masa tanpa melihat Alin. Alin pun mulai bersikap normal. Tapi dalam hatinya ia mengingat dulu Masa memang sering memijat kakinya. Mulai dari ia yang pernah terkilir karena jatuh dari tangga kampus sampai dengan kakinya yang selalu kram ketika menemani Masa berolah raga.
Kemudian Masa melanjutkan ke sebelah kanan. Setelah setengah jam, tanpa mereka ngeluarkan suara satu sama lain Alin pun tertidur pulas, Masa pun menghentikan. Dan, melanjutkan tidurnya.
Kira-kira pukul setengah delapan pagi, Masa terbangun karena ponsel Alin berdering. Setelah Masa melihat layarnya yang muncul adalah nama Farah, Masa pun menjawab panggilan Farah itu. Farah memberi tahu kalau ia di depan pintu. Dan, datang Alin masih tidur.
Setelah Masa melahap bubur ayam yang dibawa oleh Farah. Masa pun pergi meninggalkan mereka untuk menjemput si Bibi dan Rosana. Dan, Alin tetap masih tidur.
Sebelum Masa menjemput si Bibi dan Rosana, Masa ke rumahnya terlebih dahulu. Sesampainya di rumahnya Masa, mandi, menyeduh kopi menuangkannya di termos kecil untuk di bawa dan mengganti pakaian beserta membawa salinan secukupnya. Masa jadi teringat kalau ransel dan termosnya pun ada yang tertinggal di rumah Alin. Setelah itu persiapan selesai Masa pun pergi meninggalkan rumah kecilnya yang baru ia beli beberapa bulan yang lalu. Bagi Masa membeli rumah sebelum menikah dengan keringat sendiri adalah salah satu mimpinya yang terwujud.
Hari cukup cerah dan jalanan pun masih sepi begitu pula dengan jalan tol. Kira-kira pukul setengah sebelah Masa telah sampai di rumah Alin dan si Bibi pun telah menunggu Masa. Setelah memasukkan koper kecil dan rantang bersusun ke bagasi mobil. Setelah itu mereka pun menuju rumah sakit.
Sejak awal, ketika mereka menaiki mobil Rosana sudah meronta-ronta dari gendongan si Bibi untuk bisa duduk dipangkuan Masa yang sedang menyetir. Tetapi Bibi mencoba menenangkan Rosana, karena si Bibi tidak mau menggangu Masa yang sedang menyetir. Hingga akhirnya Masa yang meminta agar Rosana duduk bersamanya. Rosana girangnya bukan main. Rosana mulai meracau. Mengeluarkan bahasa yang hanya ia yang sendiri mengerti. Sesekali Masa meladeni Rosana dalam meracau. Dengan posisi berdiri, Rosana ikut membantu Masa menyetir. Lalu menunjuki apa saja yang menarik perhatiannya. Bagi Rosana mungkin ini adalah baru, melihat gedung-gedung yang menjulang tinggi. Sedari Rosana duduk dipangkuan Masa, mobil mereka melaju dengan santai. Akhirnya Rosana lelah dan tertidur dipangkuan Masa.
"Non Alin gimana keadaannya Mas?" Tanya Bibi setelah bibi menyadari kalau Rosana tertidur.
"Udah baikan Bi. Mungkin besok udah bisa pulang." Jawab Masa. "Udah berapa lama bareng Alin Bi?"
"Baru jalan empat tahun Mas." Jawab Si Bibi sopan.
"Kok baru sih Bi. Lumayan lama itu Bi. Asli mana Bi?"
"Saya asli Jawa Mas."
"Ooo... Ngomong-ngomong bapaknya emang kemana Bi?" Tanya Masa menyelidiki. Yang ingin mengetahui siapa dan di mana ayah Rosana. Kalau ibu Rosana. Masa tidak perlu mencari tahu jawabannya. Karena dengan melihat mata, hidung, tahi lalat yang ada pada Rosana saja Masa dari awal bertemu sudah mengetahui kalau Alin adalah ibunya. Dan, jika melihat Rosana, Masa langsung teringat pada Alin. Namun siapa ayah Rosana, Masa masih penasaran. Masa berharap si Bibi bisa memberikan jawaban untuk menghilangkan tanya.
"Bapak siapa Mas?" Bibi balik bertanya. "Bapaknya Non Alin atau bapaknya Kakak?" Si Bibi mempertegas pertanyaannya.
"Dua-duanya."
"Kalau bapaknya Non Alin kan udah meninggal Mas."
"Innalillahi." Masa terkejut. Masa tidak menyangka kalau ayah Alin sudah meninggal. Sebab Masa mengira ayah Alin tidak ada di rumah pasti keluar kota karena dulu Alin selalu bercerita kalau ayahnya sering pergi atau pindah rumah karena Alin sudah menikah. "Kapan Bi?" Tanya Masa.
"Belum lama Mas, belum ada dua tahu. Yang pasti sebulan setelah Non Alin menikah Mas."
Masa diam. Sendi-sendinya menjadi terasa lemas mendengar si Bibi berkata, setelah Non Alin menikah. Bagi Masa itu memperjelas semuanya dan kalimat itu membuat Masa hancur. Masa merasa semuanya sirna. Sebab selama ini, Masa telah berjanji ingin memulai hidup baru, akan menjauhi Alin, tidak akan menghubungi Alin, mencari pengganti Alin. Tapi ternyata selalu ada dihati kecil Masa tersimpan keinginan untuk hidup bersama, menikah dengan Alin. Meski, kemarin saat Masa pertama kali melihat Rosana, seketika menyadari kalau Rosana adalah anak Alin. Masa masih tetap saja menyimpan keinginannya itu. Dan saat ini, ketika mendengar kenyataan kalau Alin sudah menikah baru lah Masa merasa semacam ada besi panas yang ditusukkan tepat di dadanya dan menembus hatinya. Ketika seperti ini ingin sekali Masa menyalakan rokoknya dan menghisapnya dalam-dalam. Tapi ia teringat kalau ada anak kecil di mobil itu. Ia pun menghela nafas panjang. Tapi tetap diam.
Bibi tidak menyadari perubahaan wajah Masa. Karena Masa diam saja si Bibi pun berkata, "Kalau bapaknya Kakak udah sebulan Mas belum pulang. Kasihan Non Alin dan Kakak Mas."
Masa hanya diam.
"Suami enggak tahu di untung itu Mas. Saya kesal melihat suaminya itu." Si Bibi geram.
"Emangnya kenapa Bi?"' Tanya Masa yang mulai bisa mengendalikan dirinya.
Si Bibi pun mulia bercerita, "Jadi Mas, pernikahan Non Alin sama suaminya itu udah kayak di sinetron. Hamil sebelum menikah."
Masa mendengarkan.
"Awalnya, suaminya itu enggak mau tanggung jawab Mas. Kabur malah dari Jakarta. Untungnya Bapak punya banyak kenalan Mas. Ketemunya ini orang ada di luar negeri Mas, di Singapura kalau enggak salah. Terus ditangkap. Disuruh milih menikahi Non Alin atau masuk penjara."
"Siapa nama suaminya Bi?" Masa memotong pembicara.
"Ricki, Mas." Jawab si Bibi merasa jijik mengingat suami Alin. "Terus Mas, menikahnya aja bukan di Jakarta Mas. Ya di sana Mas dan mereka sebenarnya sama Bapak disuruh tinggal di sana Mas. Tapi baru sebulan mereka menikah. Bapak meninggal dan tinggal di Jakarta lagi sampai sekarang."
"Saya enggak tahu Mas, kok bisa Non Alin menikah sama orang kayak begitu."
"Emangnya kenapa Bi?"
"Kasar Mas. Suka mabok-mabokan. Sama Non Alin sering ribut. Udah gitu mukanya serem lagi. Ih, amit-amit. Untung aja Kakak mirip Non Alin Mas."
"Gak boleh gitu Bi."
"Udah gitu Mas, mobilnya penginggalan Bapak banyak dijual sama dia. Yang tersisa ya ini sama satu lagi yang di rumah itu mobilnya Non Alin."
Masa pun jadi teringat kalau ayah Alin memang sangat suka mengoleksi mobil tua.
"Ngomong-ngomong Mas Masa mantannya Non Alin ya?" Tanya si Bibi tiba-tiba.
Mendengar pertanyaan si Bibi, Masa sedikit gugup. "Kenapa Bibi bilang saya mantannya?" Masa balik bertanya untuk menutupi kegugupannya.
"Mastiin aja Mas. Tadi juga Mbak Farah nelepon, terus saya nanya Mas Masa itu siapa."
"Terus Farah jawab apa Bi?" Sela Masa.
"Ya itu, kata Mbak Farah, Mas Masa mantannya Non Alin."
"Terus dia ngomong apa lagi?"
"Cuma itu aja Mas. Paling tadi pesennya, suruh bersihin kamar Non Alin, seprai dan gordennya nyuruh diganti Mas." Bibi menjelaskan.
"Oh, iya Bi, saya juga mau pesen itu sih tadinya. Habisnya kemarin pas saya masuk itu, kamarnya Alin pengap banget Bi."
"Iya Mas. Saya mau gimana ya Mas, kalau enggak disuruh bersihin sama Non Alin saya juga enggak berani Mas."
Tiba-tiba semuanya diam.
"Jadi Mas Masa mantannya Non Alin?" Tanya Si Bibi yang masih penasaran.
"Iya Bi." Jawab Masa menoleh ke belakang sambil tersenyum kepada si Bibi. Emang kenapa Bi?" Tanya Masa ramah.
"Yo ndak opo-opo Mas. Mastiin." Balas Si Bibi.
Mereka pun sudah berada di pakiran bawah tanah gedung tempat Alin dirawat. Ketika mesin mobil dimatikan, Rosana pun terbangun dari tidurnya. Masa menggendong Rosana dan menyandang ransel hitamnya. Si Bibi membawa koper kecil dan rantang. Mereka langsung menuju lift dan ke lantai 5.
Alin dan Farah sedang bercakap-cakap. Tiba-tiba "Kakak... Mama rindu sayang." Kata Alin sambil merentangkan tangannya seketika melihat Masa dengan Rosana muncul dan di susul oleh Si Bibi. Alin sudah duduk dengan normal tanpa disanggah lagi oleh ranjangnya. Selang nasal kanul pada hidungnya pun sudah dilepas.
Tapi Rosana hanya memperhatikan Alin, kemudian melihat selang infus yang ada pada lengan Alin. Rosana pun tidak mau lepas dari gendongan Masa.
"Ini Mama nak." Suara Alin tercekat. Sementara itu, Masa hanya memperhatikan adalah betapa cantiknya Alin dengan rambut pendeknya yang diikat kebelakang sehingga memperlihatkan tengkuk Alin. Rosana memeluk leher Masa barulah ia tersadar.
"Kakak cantik ini Mama loh. Mama kamu lagi sakit." Masa menjelaskan seperti anak kecil "Lihat tuh" Masa menunjukkan botol infus yang menggantung, Rosana pun memperhatikan apa yang ditunjuk oleh Masa, kemudian Masa menunjukkan selang yang berakhir pada lengan Alin. Setelah itu, Masa dan Rosana saling bertatap-tatap lalu Rosana menoleh kepada Alin. Kemudian menatap Masa lagi dan Masa tersenyum. Setelah itu baru lah Rosana mau lepas dari Masa dan kini berada dipangkuan Alin.
Adalah hal yang wajar jika Rosana merasa asing dengan Alin. Sebab Rosana sudah sebulan tidak melihat Alin. Farah dan si Bibi merasa iba dengan pemandangan yang mereka lihat.
***

Comments
Post a Comment