---
Bagian Kesatu
Sudah berhari-hari jam tidurnya tidak terjamin lagi kualitasnya. Begitu juga dengan pola makannya yang berantakan. Hasilnya, kulitnya semakin pucat dan badannya pun semakin menyusut. Membuat ia terlihat semakin mungil. Kecantikannya perlahan redup. Alin Putri, perempuan berumur 26 tahun, yang baru menikah sekitar 17 bulan yang lalu. Sekarang ia harus menghadapi cobaan. Sudah sebulan suaminya pergi dengan wanita lain.
Alin bukanlah orang yang bisa mengambil keputusan dengan bijak. Akan lama baginya menentukan sikap. Ia akan lebih memilih menyiksa diri terlebih dahulu. Daripada langkah apa yang akan dilakukan ke depannya. Lama baginya untuk menimbang-nimbang.
Mulai kemarin, Alin mengunci diri di dalam kamar. Terkulai lemas di tempat tidurnya. Tidak makan dan tidak minum. Bahkan anaknya yang berumur satu tahun tidak ia perdulikan lagi. Untung saja pembantunya yang berbadan gempal itu masih setia menemaninya. Dan, ikhlas mengurus anaknya. Sebab ketika perjanjian di awal, pembantunya itu tidak diberikan amanah untuk mengurusi anaknya. Namun, pembantunya itu tetaplah seorang ibu dan hatinya teriris ketika mendengar anak kecil menangis.
Dalam kesendirian, Alin mencari-cari jawaban kenapa suaminya bisa meninggalkannya. Tapi, yang terlintas dibenaknya adalah pertemuan pertama dengan suaminya hingga akhirnya mereka bisa menikah.
Ia mengingat, awalnya ia tidak mencintai suaminya. Hingga setahun mereka menjali hubungan. Alin akhirnya menaruh harapan. Sebab itulah Alin kenapa bisa melakukan hal bodoh, yaitu berhubungan seks. Tapi ia meyakini kalau saat itu mereka saling mencintai.
Alin salah menduga. Pernikahannya bisa terjadi bukan karena cinta tapi sebuah aib. Ia sudah meminta pertanggungjawaban sejak tahu ia hamil. Tapi pernikahan itu baru terlaksana, ketika ia sudah hamil empat bulan.
Memang sedari awal, suaminya itu tidak ingin bertanggung jawab dan sempat menghilang ke luar kota. Namun, karena ayahnya seorang pejabat negara yang memiliki banyak kenalan. Suaminya itu bisa dijemput secara paksa dan diberi pilihan. Menikahi atau mendekam di penjara. Hingga akhirnya mereka menikah.
Dan, sampai saat ini, Alin pun pasrah dan benar-benar sadar. Bahwa suaminya memang tidak pernah benar-benar menjadi seorang suami baginya dan ayah bagi anak mereka.
Matahari sudah setinggi tembok. Otaknya sudah lelah berpikir. Begitu pula dengan matanya yang tidak sanggup lagi untuk tetap terbuka. Alin pun tertidur.
"Ini ke sini... ke sini... hore..." Suara laki-laki itu bermain dengan anak Alin.
Mulai kemarin, Alin mengunci diri di dalam kamar. Terkulai lemas di tempat tidurnya. Tidak makan dan tidak minum. Bahkan anaknya yang berumur satu tahun tidak ia perdulikan lagi. Untung saja pembantunya yang berbadan gempal itu masih setia menemaninya. Dan, ikhlas mengurus anaknya. Sebab ketika perjanjian di awal, pembantunya itu tidak diberikan amanah untuk mengurusi anaknya. Namun, pembantunya itu tetaplah seorang ibu dan hatinya teriris ketika mendengar anak kecil menangis.
Dalam kesendirian, Alin mencari-cari jawaban kenapa suaminya bisa meninggalkannya. Tapi, yang terlintas dibenaknya adalah pertemuan pertama dengan suaminya hingga akhirnya mereka bisa menikah.
Ia mengingat, awalnya ia tidak mencintai suaminya. Hingga setahun mereka menjali hubungan. Alin akhirnya menaruh harapan. Sebab itulah Alin kenapa bisa melakukan hal bodoh, yaitu berhubungan seks. Tapi ia meyakini kalau saat itu mereka saling mencintai.
Alin salah menduga. Pernikahannya bisa terjadi bukan karena cinta tapi sebuah aib. Ia sudah meminta pertanggungjawaban sejak tahu ia hamil. Tapi pernikahan itu baru terlaksana, ketika ia sudah hamil empat bulan.
Memang sedari awal, suaminya itu tidak ingin bertanggung jawab dan sempat menghilang ke luar kota. Namun, karena ayahnya seorang pejabat negara yang memiliki banyak kenalan. Suaminya itu bisa dijemput secara paksa dan diberi pilihan. Menikahi atau mendekam di penjara. Hingga akhirnya mereka menikah.
Dan, sampai saat ini, Alin pun pasrah dan benar-benar sadar. Bahwa suaminya memang tidak pernah benar-benar menjadi seorang suami baginya dan ayah bagi anak mereka.
Matahari sudah setinggi tembok. Otaknya sudah lelah berpikir. Begitu pula dengan matanya yang tidak sanggup lagi untuk tetap terbuka. Alin pun tertidur.
***
Menjelang magrib Alin terbangun. Ia duduk diatas kasurnya. Matanya menyapu seluruh kamar yang luas. Mencari-cari ponselnya yang hampir 4 hari tidak terjamah. Beberapa detik, ia mengingat kejadian empat hari yang lalu. Dengan posisi yang sama seperti saat ini, ia membanting ponsel ke lantai. Segera Ia menoleh ke bawah kolong tempat tidurnya. Ia pun sudah mendapati ponselnya mati dan layarnya retak. Alin langsung mengisi daya ponselnya. Beberapa menit menunggu. Ponselnya menyala kembali.
Yang ia lakukan pertama sekali ketika ponselnya menyala adalah menelepon suaminya. Nomor suaminya masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Di luar jangkauan. Setelah dua kali mencoba ia menyerah. Lalu ia membuka aplikasi whatsapp. Hampir seribu pesan yang belum ia baca. Setelah memperhatikan satu persatu nama yang mengirim pesan kepadanya. Alin hanya tertarik dan dengan isi pesan sahabatnya, Farah. Farah mengirim sebuah foto undangan dan keterangannya: "Ada bar di daerah Selatan grand opening malam ini. Gue diundang. Lo harus temenin gue. Deket rumah lo dan bintang tamunya band favorit lo."
Beberapa saat Alin berpikir. Ia melihat jam di ponselnya yang masih menunjukkan pukul 17:57. Bar itu tidak begitu jauh dari rumahnya. Ia juga sudah hampir sebulan tidak keluar rumah. Ditambah, Alin, sudah lama tidak bertemu dengan sahabatnya. Ia menyanggupi permintaan sahabatnya itu dan bertanya pukul berapa sahabatnya itu berada di sana.
"Setengah sembilan", balas Farah.
Setelah menerima balasan pesan dari Farah. Dengan malasnya Alin menuju kamar mandi. Ia mengisi bethup-nya dengan air hangat. Setelah hampir penuh ia menanggalkan semua penutup yang menutupi kulitnya. Alin masuk ke dalam bethup. Ia berendam. Tanpa ia sadar, satu jam berlalu.
Di cermin meja riasnya, dengan masih mengenakan handuk, Alin duduk menatap dirinya sendiri. Ia memperhatikan tulang selangkanya semakin terlihat, pipinya semakin cekung, dan kantung matanya yang membengkak. Lama ia menatap dirinya.
***
Alin keluar dari kamarnya. Ia kini duduk di teras rumahnya menunggu mobil yang baru ia nyalakan. Dan, di pintu rumah pembantunya berdiam berdiri menunggu Alin berbicara kepadanya. Sesekali Alin melihat jam tangannya yang mungil. "Masih pukul delapan kurang", batin Alin.
Waktu pun sudah menunjukkan pukul delapan malam. Alin menuju mobilnya. Melihat itu, pembantunya dengan sigap langsung membuka pintu gerbang. Alin memundurkan mobilnya. Setelah cukup dekat dengan pembantunya, Alin menekan tombol power window. Jendela kaca sebelahnya turun menyisakan seperempat bagian lagi.
"Bi, saya jalan dulu. Jangan tunggu saya. Bibi tidur aja. Karna saya juga bawa kunci serap. Kuncinya jangan digantung di rumah kuncinya dan grendelnya juga jangan kunci. Nanti saya enggak bisa masuk."
Mendengar pesan Alin pembantunya hanya mengangguk sambil berkata, "Hati-hati Non." Alin pun membalas mengangguk dan menutup jendela kaca mobil dan meninggalkan rumahnya.
25 menit kemudian. Alin telah sampai di parkiran bar tersebut. Setelah menemukan tempat parkir yang pas menurutnya. Kemudian ia membuka ponselnya dan mengirim pesan kepada temannya.
"Gue tunggu lo, di depan pintu masuk." Balas Farah. Menerima balasan pesan dari Farah. Alin mematikan mesin mobilnya dan keluar menuju pintu masuk bar.
Alin melihat Farah berdiri di depan pintu masuk. Setelah mereka berpelukan Farah melihat menatap Alin dari ujung kepala sampai ujung kaki. Skinny dongker, kemeja flanel dengan motif kotak-kotak hitam putih, dan sneaker putih dengan list merah, serta make up senatural mungkin. Alin tampak cantik dan kasual.
"Kenapa lo?" Tanya Alin ketus, sedikit terganggu dengan kelakuan sahabatnya itu.
"Gak kenapa-kenapa." Jawab Farah kikuk. "Ribut lagi?" Sambung Farah. Setelah ia menyadari mata Alin yang masih sembab meski Alin berusaha menutupi dengan make up.
Alin hanya ngangkat bahunya. Melihat itu Farah pun tidak bertanya lagi. Kemudian Farah berkata, "Ya udah, kita puas-puasin malam ini. Gue yang traktir."
Mereka masuk menuju bagian dalam bar. Sesampainya di dalam, Farah mendekati salah satu pelayan bar. Dari dalam tas kecilnya Farah mengeluarkan undangan. Menerima undangan yang berwarna keemasan, pelayan itu langsung menuntun mereka ke deretan meja paling depan yang dengan panggung.
"Bisa lo dapat meja di sini?" Tanya Alin seketika mereka duduk. "Gebetan baru lo?" Sambung Alin.
Farah hanya tersenyum tersipu malu. Tidak menjawab. Dan, seketika itu laki-laki dengan bercelana chino pendek berkaos putih dibalut dengan jas gelap mendekati mereka.
"Udah lama?" Tanya laki-laki berdarah campuran itu.
"Belum lama kok. Baru nyampe." Sahut Farah tersadar dengan suara laki-laki itu. Farah berdiri dan berpelukan dan saling menempelkan pipi kiri dan kanan.
"Kenalin sahabat aku." Kata Farah setelah itu. Alin pun berdiri.
"Halo, saya Ryan." Kata laki-laki yang berjambang itu sambil mengulurkan tangannya. Alin menyambut jabat tangan Ryan dan mengenalkan namanya dan sedikit tersenyum.
"Sebentar lagi acaranya bakal mulai. Saya tinggal dulu ya. Ada beberapa yang belum diselesaikan. Kalian mau minum apa?" Tanya Ryan.
"Terserah kamu aja." Jawab Farah seperti anak kecil.
Mendengar itu Ryan melihat ke arah Alin yang sudah duduk. "Gue, ngikut aja." Kata Alin sambil tersenyum.
"Pantes aja lo berpenampilan sok manis begini." Kata Alin setelah Ryan pergi.
"Sok manis gimana?" Tanya Farah.
"Pakai dress segala." Kata Alin ketus.
"Eh, lo nya aja yang salah kostum. Perhatiin deh, sekitar lo. Emang cewek-cewek yang datang ke sini gak pake gaun semuanya." Farah membela diri.
Mendengar itu, Alin melihat sekitarnya. Dan, semua yang datang memakai setelan formal. Hanya dia yang berbeda sendiri.
"Lo kok gak ngasih tau ke gue sih?" Tanya Alin.
"Lo nya aja yang gak memperhatikan undangannya. Disitu ada tulisan dress code." Farah membela diri lagi.
Alin pun membuka ponselnya dan memastikan perkataan Farah. Dan, sahabatnya itu benar.
"Pantes aja gue dilihatin dari tadi." Batin Alin.
Tidak berapa lama minuman mereka diantar oleh dua orang pelayan. Pelayan pertama mendorong gerobak berbahan stainless dan di atasnya ada dua gelas tinggi langsing, dengan bibirnya yang kecil dan ice bucket yang ada sebotol wine di dalamnya. Pelayan kedua, menaruh gelas-gelas itu pada masing-masing mereka. Setelah itu membuka botol wine dan menuangkannya.
Setelah mempersilahkan. Pelayan-pelayan dengan setelan berwarna hitam itu undur diri sambil berpesan, jika butuh sesuatu jangan sungkan untuk memanggilnya.
"Hebat banget lo." Ledek Alin.
"Gue..." Kata Farah berbangga.
Meja-meja bundar itu sudah terisi penuh.
"Kenal di mana lo sama si bule itu?" Tanya Alin penasaran. Alin menyadari beberapa tamu-tamu yang datang adalah orang-orang yang sering muncul di televisi dan Ia pun menyadari beberapa pejabat teman ayahnya dulu pernah main ke rumahnya ada di sini. Belum lagi bar ini memang sangat mewah dan luas.
"Namanya Ryan."
Alin pun menyeringai.
"Waktu itu, pas gue terakhir liburan ke Bali." Sambung Farah.
"Ryan itu empat tahun di atas kita. Ayahnya orang Jerman dan Ibunya orang Bandung. Tapi Ryan lahir dan besar di Jakarta. Makanya dia bukan bule lagi. Dan, lo denger sendiri kan dia ngomong juga udah kayak Indonesia banget." Farah menjelaskan.
Alin mengangguk, mengiyakan. "Kapan lo ke Bali? Kok gak ngajak-ngajak?" Tanya Alin menyelidiki.
"Enam bulan yang lalu. Gue gak ngajak karna lo kan lagi punya bayi." Farah menjelaskan. "Eh, ponakan gue gimana?"
Mendengar pertanyaan itu Alin terdiam. Ia teringat ternyata ia adalah seorang ibu. Lalu ia ingat kembali lagi dengan suaminya. Hatinya pun mendidih, jijik, benci, dan dendam. Raut wajah Alin pun berubah.
"Sehat kan?" Tanya Farah karena tidak mendapat jawaban. Farah tidak memperhatikan raut wajah Alin.
"Sehat." Kata Alin Lalu meneguk habis wine dari gelasnya. Kemudian menuangkan lagi. "Ada di rumah. Lo aja yang gak pernah main ke rumah. Sok sibuk." Sambung Alin.
"Iya deh, gue ngaku salah. Ntar gue sempetin main ke rumah lo." Kata Farah dengan nada memelas.
"Tante macam apa itu." Timpal Alin sambil menuang yang ketiga kali ke gelasnya.
"Jangan gitu dong." Suara Farah semakin memelas.
***
Pukul 21:15, akhirnya, pembawa acara membuka acara itu. Setelah dari tadi, seperti gerombolan lebah yang memenuhi ruangan ini tamu-tamu bar itu berhenti memperhatikan pembawa acara yang sedang berbasa-basi, lalu memanggil band pembuka malam itu. Band yang lagi naik daun di ibukota. Setelah membawakan lima lagu dan berhasil menghibur penonton. Pembawa acara memanggil sipemilik bar untuk menyampaikan sepatah dua kata. Dan, sipemilik bar itu adalah Ryan.
Ketika nama Ryan dipanggil. Alin melototi Farah.
"Sumpah! Gue gak tahu kalau Ryan yang punya tempat ini." Farah membela diri, seolah paham maksud tatapan Alin.
Ryan pun sudah berdiri dipanggung kecil itu dan memegang sebuah mic.
"Selamat malam teman-teman. Perkenalkan saya Ryan. Saya adalah salah satu owner tempat ini. Terima kasih sudah mau nyempatkan diri datang ke acara grand opening bar kami. Saya berharap teman-teman bisa menikmati suguhan kami yang sederhana ini. Dan, kami berharap, setelah malam ini, dan malam seterusnya teman-teman kembali lagi sebab pintu terbuka lebar untuk kalian semuanya. Dan, teman-teman pun bisa mengajak teman-teman kita yang lainnya yang belum sempat datang malam ini.
Saya tidak akan berbicara panjang lebar. Namun, sebelum saya mengakhirinya, izinkan saya bertanya kepada salah satu dari kalian teman-teman dan setelah itu saya akan menutupnya."
Ryan berhenti sejenak dan dari atas panggung kecil itu Ryan menatap kearah Farah. Farah yang sadar ditatap menjadi salah tingkah.
Kemudian Ryan mendekatkan lagi mic ke bibirnya dan berkata, "Farah Adriana, mau kah kau menikah dengan ku?"
Sontak seisi ruangan manjadi riuh.Tepuk tangan dan teriakan, "Terima... terima... terima..." Suara-suara itu mengisi ruangan. Farah terdiam beberapa saat.
"Woi! Maju lo sana. Jangan bengong." Alin meninggikan suaranya sambil menyetuh bahu Farah. Farah pun tersadar.
Farah pun berdiri. Tepuk tangan semakin riuh. Farah menuju ke arah panggung kecil itu. Pelan-pelan ia melangkah. Dan, seketika itu, lampu-lampu ruangan itu semakin redup. Yang terang hanya di bagian panggung kecil di mana Ryan berdiri menunggu Farah.
Sesampainya di panggung kecil itu. Mereka berhadapan. Disinari lampu terang panggung, Farah, terlihat seperti bidadari dari sisi Alin. Belum lagi dress selutut berbahan satin berwarna gelap itu mengeluarkan aura kecantikan Farah. Kalung emas yang halus pun menambah keanggunannya. Lalu high heels hitamnya cukup membantu Farah mengimbangi tinggi Ryan.
Lutut kaki kiri Ryan menyentuh panggung dan Kaki kanannya ia tekuk. Sontak gerakan itu membuat semakin riuh lagi. Kemudian ia mengeluarkan cincin dari saku dalam jasnya. Dan, menyodorkan ke arah Farah. Melihat itu, Farah hanya bisa mengangguk sambil meneteskan air mata. Dan, Ryan memasukkan cincin itu jari manis tangan kiri Farah.
Seluruh ruangan dipenuhi tepuk tangan dan sorak sorai. Malam itu milik Farah dan Ryan.
Seluruh ruangan dipenuhi tepuk tangan dan sorak sorai. Malam itu milik Farah dan Ryan.
***
Band favorit Alin tampil dan ini adalah penutup. Lagu pertama Alin dan Farah bahkan seisi ruangan itu menyanyi bersama. Lagu kedua pun begitu. Setelah lagu ketiga. Ryan menghampiri mereka dan memohon izin kepada Alin untuk membawa Farah berkeliling mengenalkan kepada teman-temannya. Alin tidak keberatan. Setelah Ryan dan Farah pergi, habis lah lagu ketiga. Dan, ketika itu Alin ingin menuangkan wine ke gelasnya. Ternyata botol wine sudah kosong. Alin pun pergi menuju meja bar.
Dari mejanya ke meja bar membuat ia berpapasan dengan orang-orang lalu lalang. Dan, ketika itu ada salah seorang yang sepertinya ia kenal. Sangat ia kenal. Tapi mana mungkin, pikirnya. Mungkin saja dia salah orang. Sebab lampu bar itu memang redup terkecuali dibagian panggung.
Sesampainya di meja bar, ia memesan martini. Karena hanya sendiri, ia enggan kembali ke mejanya. Dan, ia menikmati minumannya di meja bar itu.
***
07:36. Alin terbangun. Ia masih merasakan kepalanya berat sekali. Tapi ia merasa aneh kenapa tiba-tiba terbangun di kamarnya.
"Bi...!" Teriak Alin.
"Siapa yang nganter saya Bi?" Tanya Alin ketika pembantunya yang berumur empat puluh tahun itu.
"Temennya kamu Non. Itu dia masih ada di bawah. Tadi habis sarapan bareng saya dan Kakak. Sekarang di ruang tv Non lagi main sama Kakak. Dia juga tidur di sini. Tadinya dia mau langsung pulang Non. Tapi saya suruh nginap. Saya enggak tega dia pulang jam dua malam naik taksi atau ojol Non.
Belum lagi, hampir setengah jam dia ngetok pintu Non. Saya takut mau bukain pintu jam segitu. Setelah saya ngintip dari kamar dan ngeliat Nona ada di mobil baru saya berani bukain pintu Non."Pembantunya menjelaskan.
"Farah kan Bi?" Tanya Alin.
"Bukan Non Farah. Wong cah lanang kok Non."
Mendengar itu Alin langsung melompat dari tempat tidur. Keluar dari kamar menuju ruang tv yang ada di lantai satu.
Seketika itu Alin terkejut setengah mati mendengar suara itu.
Meski belum melihat jelas wajah laki-laki ini karena terhalang sofa dan berjarak beberapa meter lagi dihadapannya. Namun ia mengenali suara yang sudah lama tidak ia dengar ini.
"Benar. Laki-laki itu yang di bar semalam." Batin Arin yang berdiri terpaku.
Lalu tersadarkan oleh pembantunya yang sudah berada di belakangnya. "Itu temennya Non." Kata pembantunya sejurus. Setelah itu pembantunya melangkah ke arah laki-laki itu dan anaknya.
"Mas, itu Non Alin sudah bangun." kata pembantunya. Kemudian meninggalkan mereka dan menuju dapur.
Laki-laki itu berhenti dari perhatiannya. Menarik nafas panjang. Lalu berdiri. Seketika itu mereka saling bertatapan. Cukup lama. Mereka tidak mengucapkan sepatah kata. Tersadarkan oleh tangisan anak Alin. Anak Alin menangis karena perhatian laki-laki itu tidak lagi kepadanya. Laki-laki itu pun, mengembalikan perhatiannya kepada anak Alin. Alin melangkah mendekati mereka.
"Jangan nangis anak cantik." Kata laki-laki itu menenangkan anak Alin. Alin pun memperhatikan laki-laki itu. Sebab laki-laki itu, begitu luwesnya bermain dengan anak kecil.
"Non, ini teh manis anget-nya." Suara pembantu itu memecah perhatian Alin.
"Makasih Bi." Kata Alin. Lalu meneguk sampai habis dari mug itu.
"Non Alin lapar?" Tanya pembantunya setelah menerima kembali mug kosong itu.
"Nanti aja Bi. Mending Bibi, bawa Kakak keliling komplek deh." Pinta Alin.
***


Comments
Post a Comment