ALIN
Oleh: Abdi Rahmatsah Siregar
Penyunting: gitarambe (ig)Foto: denissadevy/analogdiction (ig)
Desain Sampul: irfanulyak (ig)
---
Bagian Kedua
Kini hanya tinggal mereka berdua. Alin dan laki-laki itu hanya diam. Sesekali mereka saling bertatapan. Akhirnya iklan di tv yang baru berlalu memecah kebuntuan Alin. Iklan produk teh. Dengan jargon mari bicara. Kita akan bicara.
"Kita ngobrol di teras samping aja." Ajak Alin datar. Alin pun bediri mengarah lubang pintu samping yang persis di sebelah kiri meja tv yang dihadapan mereka. Setiap pagi daun pintu menuju teras samping ini selalu dibuka agar udara segar bisa masuk. Setelah Alin sampai diteras, laki-laki itu pun belum muncul.
Di teras samping ini diisi sice kayu yang warnanya sudah mulai memudar. Udara lebih melegakan ke timbang di ruang tv tadi. Alin memperhatikan sekitarnya. Beberapa meter di hadapannya kolam renang berbentuk lingkaran yang berdiameter 6 meter itu telah ditutupi oleh dedaunan dan bunga dari pohon kamboja yang berdiri di sisi kanan kolam itu. Salah satu dahan pohon kamboja itu telah melewati pagar tembok rumah yang setinggi 2 meter itu dan akan terus tumbuh menuju atap rumah tetangganya. Bunga Asoka yang ditanami disekitar tembok berebutan menjulang ke atas untuk meraih puncak. Bunga bougenville yang setinggi pinggang orang dewasa itu, dahan-dahannya sudah sangat mengintimidasi bunga-bunga mawar disekitarnya. Belum lagi rumput-rumput manis taman itu sudah menutupi batu-batu alam yang dibuat sebagai petunjuk untuk kaki menapak ketika hendak mengelilingi taman atau menuju kolam renang. Taman dan kolam renang yang berada di atas luas tanah 12 meter itu lebih mirip semak belukar dan rawa-rawa. Sangat jauh dari niat semula siempunya.
"Di sini nyaman." Kata laki-laki itu tiba-tiba. Laki-laki itu ternyata merasakan hal yang sama dengan Alin ketika berada di ruang tv tadi. Alin menoleh ke belakang. Laki-laki itu duduk di kursi sice kayu yang menghadap langsung ke taman dan memunggungi lubang pintu akses ke teras itu. Lalu Alin memilih duduk di sisi kanan meja. Alin tidak mau duduk membelakangi taman. Karena akan langsung berhadapan dengan laki-laki itu. Alin tidak mau menjadi salah tingkah.
Sekarang gantian laki-laki itu yang memperhatikan taman dan sekitarnya. Sesekali angin pagi berhembus menghampiri mereka. Dan, ketika angin menghampiri mereka bau anyir samar-samar ada disekitar mereka. Laki-laki itu sadar dengan gerak-gerik Alin yang hidungnya mencari bau anyir itu.
"Ini bau muntahan kamu." Kata laki-laki itu pura-pura tidak memperhatikan Alin.
"Hah?" Kata Alin. Sambil membaui dirinya sendiri. Saat itu juga Alin tersadar. Ia hanya memakai tanktop putih polos dan legging pendek untuk olahraga. Alin menepuk dahinya. Ia sebenarnya tidak tahu siapa yang melepas kemeja dan skinny-nya yang ia pakai semalam.
"Mudah-mudahan si Bibi." Batinnya.
"Kamu?! Aku tinggal dulu. Sebentar. 30 Menit." Kata Alin panik kepada laki-laki itu. Laki-laki itu tersenyum kecil melihat kelakuan Alin.
Seperginya Alin. Laki-laki itu melihat di atas meja yang dihadapannya ada asbak. Ia teringat kalau sedari bangun, mandi, kemudian sarapan ia belum menghisap rokoknya. Mulutnya memang sudah terasa kecut. Tadi, selesai sarapan ia langsung bermain dengan Kakak, yang saat itu baru bangun dari tidur. Ketika dua tiga kali menghisap rokoknya, laki-laki itu teringat lagi, tadi ada kopi yang dibuatkan oleh si Bibi. Laki-laki itu masuk ke dalam, memperhatikan ruang tv dan menemukan kopinya ada di atas meja kecil di sebelah sofa. Ia meraih gelas kopi itu dan menyesapnya. Masih hangat, pikirnya. Laki-laki itu kembali menuju teras samping.
Duduk, menikmati pagi, rokok dan segelas kopi. Nikmat mana lagi, pikirnya selalu jika menikmati pagi seperti saat ini. Laki-laki ini tidak menganut penikmat kopi senja seperti yang lagi trendi. Sebab baginya kopi sudah seperti makan. Tiga kali sehari, minimal. Bisa lebih, jika pikirannya sedang penat. Namun, ia sudah lama memikirkan frase penikmat kopi fajar, sebutan untuk menandingi penikmat kopi senja.
Baginya, jika hari lebih ingin baik, maka nikmatilah kopi di pagi harinya. Itulah kenapa ia beranggapan penikmat kopi senja itu adalah orang-orang yang kebingungan. Tidak tahu lagi bagaimana cara meleburkannya.
Dalam menikmati pagi, rokok, dan segelas kopi itu. Pikirannya risau. Ketika acara grand opening itu berjalan dan ketika ia melihat Alin untuk pertama kalinya. Semalam, sebelum mereka berpapasan, dari kejauhan ia sudah mengenali Alin berjalan menuju ke arahnya. Tapi ia memilih pura-pura tidak mengenal Alin. Ia mencoba menghindar dan berlalu.
Sebab ada kejadian yang membuat ia menyerah kepada Alin. Dan, berjanji tidak akan menghubungi dan tidak ingin bertemu wanita ini lagi. Itu janji yang ia buat. Tapi janji itu telah ia langgar. Karena ia tidak bisa menolak permintaan Ryan dan malah ia menginap di rumah Alin.
Yang paling menganggu pikiran laki-laki itu adalah nama anak kecil yang sudah akrab dengannya. Namanya persis seperti nama almarhumah Ibu Alin. Alin pernah bercerita, ibunya meninggal karena berjuang melahirkan adiknya, tapi naas, beberapa menit kemudian adiknya pun menyusul ibunya. Alin berumur lima tahun ketika kejadian itu.
Laki-laki itu, mengingat jelas sampai sekarang nama ibu Alin. Dan, betapa terkejut laki-laki itu ketika si Bibi memberi tahu nama asli Kakak. Rosana.
Dulu, ia sempat memikirkan apakah Alin sudah menikah. Kalau sudah kenapa tidak ada undangan yang sampai kepadanya. Memang pernah ia mendengar kabar burung, yang mengatakan kalau Alin menikah. Tapi ia tidak pernah percaya kabar itu. Tapi sekarang dengan adanya Kakak, harusnya Alin sudah menikah? Tetapi sedari ia memasuki rumah ini, semalam, ia sudah memperhatikan dinding-dinding bagian dalam rumah itu atau meja-meja tempat meletakkan foto. Mencari-cari. Tetap tidak ia menjumpai adanya foto-foto pernikahannya. Atau paling tidak foto seorang laki-laki yang seumuran dengannya. Yang ada hanya foto-foto yang sudah pernah ia lihat sebelumnya.
Ketika pertama kali laki-laki itu mendengar kabar burung itu. Laki-laki itu, sebenarnya beberapa kali memperhatikan sosial media Alin. Tapi seperti saat ini, tidak ada satu foto pun yang membenarkan kabar itu. Lalu apakah kabar burung itu benar? Alin menikah karena hamil lebih dulu.
"Ada apa semua ini?" Tanyanya dalam hati. Ia menarik asap rokoknya dalam-dalam. Mengurangi pikiran-pikiran yang menggangunya.
***
Sesampainya di kamar, Alin tidak langsung menuju kamar mandi. Tetapi ia mencari-cari ponselnya. Baju dan celana yang ia pakai semalam, sudah tidak ia dapati lagi. Mungkin sudah di cuci Bibi, pikirnya. Di meja kecil sebelah tempat tidurnya juga tidak ada. Akhirnya, ia teringat, pasti di sini, katanya sambil melihat kolong tempat tidurnya. Dan, benar saja ia menemukan ponselnya.
Alin sebenarnya tidak tahu kenapa ponselnya selalu berada ditempat yang sama, di kolong tempat tidur.
Ketika ponselnya ditangannya, ia mengecek daya ponselnya dan masih ada tersisa 30 persen. Ia langsung mengetik nama Farah pada kontak ponselnya. Ia menelepon Farah. Hanya sekali berbunyi Farah langsung mengangkat.
"Lo gila apa, nyuruh dia nganter gue pulang." Kalimat Alin yang keluar pertama kali. "Kok bukan lo sih yang nganter Rah...?" Suara Alin mengandung kekesalan. "Lo tahu gak kalau dia nginep di rumah gue. Tadi dia main sama Kakak. Sekarang dia ada di teras samping lagi nungguin gue."
"Hah? Gila kali lo. Emang suami lo kagak ada dirumah?"
Alin diam.
"Maaf Lin." Farah memelas. Ia tahu Alin tidak bakal menjawab pertanyaannya. "Gue gak bakal kepikiran kalau dia bakal sampai nginep. Gue juga kaget pas Ryan ngomong yang nganter lo orang kepercayaan dia. Dan, pas dia yang muncul gue juga sempat nolak ke Ryan. Tapi Ryan ngomong udah larut malam dan gak mungkin gue yang nganter lo dengan kondisi lo kayak gitu. Gue gak bisa ngomong lagi Lin.
Gue juga gak tau Lin, kalau Ryan ternyata temenan sama dia. Dan mereka partner. Bar itu punya mereka berdua.
Sekali lagi gue minta maaf Lin. Karna gue juga cerita semua ke Ryan tentang hidup lo dan siapa temannya itu."
Halo... Lin... Halo... Lin!"
Telepon putus.
***
Si Bibi dan Kakak pun telah kembali dari jalan-jalan paginya. Mengitari komplek perumahan. Sejam lebih. Namun Alin belum muncul.
"Non Alin kemana Mas?" Tanya si Bibi. Membuyarkan lamunan laki-laki itu.
"Eh, udah pulang." Kata laki-laki itu sambil mematikan rokoknya. Kakak meronta-ronta ingin digendong laki-laki itu. "Katanya sih tadi tunggu sebentar tapi ini udah sejam belum kelilhatan." Kata laki-laki itu dan Kakak sudah berada digendongannya.
"Kemana aja tadi cantik?" Suara laki-laki terdengar manja. Anak yang dipelukkannya hanya tersenyum-senyum. Jari-jari mungilnya menyentuh pipi laki-laki itu yang ditumbuhi rambut tipis tapi kasar sehingga akan terasa geli apabila terkena kulit. Laki-laki itu pun mengoyang-goyang kepalanya. Membuat Kakak tertawa geli.
"Saya lihat Non Alin dulu Mas." Kata si Bibi.
"Iya Bi." Kata laki-laki itu sambil melanjutkan kata-kata manjanya dengan Kakak. Sesekali laki-laki itu mengangkat Kakak ke atas. Badan laki-laki itu tinggi membuat kepala Kakak beberapa senti lagi menyentuh langit-langit teras itu. Kakak pun tertawa girang. Ketika hendak mengulang gerakan itu. Tiba-tiba dari dalam si Bibi pun teriak, "Mas, Non Alin...!"
Samar laki-laki itu mendengarnya. Tetapi laki-laki itu langsung tahu kalau ada yang tidak beres. Ia pun mendekap Kakak. Tidak jadi melakukan gerakan itu lagi dan masuk ke dalam rumah. Menuju asal suara. Walau tidak tahu di mana persis posisi kamar Alin, tapi laki-laki itu menuju lantai dua.
Ternyata tidak sulit mencari kamar Alin, sebab lubang pintu kamarnya langsung menghadap tangga dan hanya daun pintu kamar Alin lah terbuka terbuka, memperlihatkan isi di dalamnya.
Sesampainya di kamar. Laki-laki itu melihat si Bibi menggoyang-goyang bahu Alin. Namun Alin tidak merespon. Alin pingsan. Tergeletak di ubin, sisi kiri tempat tidurnya. Dan, tangan kanannya masih memegang ponsel. "Bi, tolong gendong Kakak." Setelah Bibi menggendong Kakak. Laki-laki itu menempelkan telapak tangan kanannya di dahi Alin. Panas sekali, batin laki-laki itu. Lalu mendekatkan jari telunjuknya ke lubang hidung Alin. Kemudian memeriksa denyut nadinya.
"Bi, saya bawa Alin ke rumah sakit. Bibi di sini aja jaga Kakak. Nanti kalau Alin sadar Bibi saya kabari." Kata laki-laki itu sambil mengangkat Alin. Bibi itu hanya diam, matanya berkaca sambil menggendong Kakak. Melihat laki-laki itu membopong ibunya, Kakak jadi ikut menangis, berteriak, meronta-ronta seolah mengerti. Badan laki-laki itu atletis sangat sanggup mengangkat tubuh mungil Alin seorang diri. Ia langsung menuruni tangga dan menuju mobil. Tancap gas menuju rumah sakit terdekat yang terlintas dipikiran laki-laki itu. Sambil menyetir mobil, laki-laki itu tidak berhenti memanggil nama Alin.
Pagi menjelang siang. Awan-awan kelabu sudah mulai menutupi langit dan matahari tampak sudah mengalah. Ia meredup. Mungkin hujan akan segera turun. Padahal pagi tadi langit sangat bersih dan biru.
***
Gerimis turun tanpa berhenti, perlahan ia membasahi semua permukaan yang berada di luar. Alin berada di sebuah kamar rumah sakit. Ia akan di rawat inap mungkin dua atau tiga hari. Sampai Alin benar-benar pulih. Kata dokter Alin terkena gejala tifus. Mungkin karena Alin jarang makan, jarang tidur, pikiran yang menumpuk. Tapi laki-laki itu menduga karena Alin semalam terlalu banyak minum. Botol wine pertama bisa dibilang Alin seorang diri yang menghabiskan, lalu 5 gelas martini dan 5 sloki vodka. Laki-laki itu tahu karena ia sempat bertanya kepada bartender yang menyuguhkan minuman kepada Alin.
Pukul 14:02. Alin membuka matanya. Tatapannya masih lemah. Dengan gerakan spontan, setengah berdiri laki-laki itu memanggil mesra nama Alin. Alin tidak merespon. Kejadian itu begitu cepat hanya beberapa detik sampai Alin memejamkan matanya lagi. Laki-laki itu, menghela nafas dan kembali duduk di kursi yang berada di sisi kiri tempat Alin berbaring.
Tiga jam berlalu sejak Alin berada di kamar rawat inap. Dan, selama itu, laki-laki itu menunggui Alin, tidak beranjak sama sekali. Ia hanya menatatap wajah bulat Alin.
Laki-laki itu memang tidak pernah bisa melupakan wajah Alin. Ia masih dapat membandingkan dulu dan perbedaan pada wajah Alin sekarang yang terlihat lebih tua dari umurnya. Mungkin karena semakin kurus dan kerutan di dahi dan ujung matanya ini, pikir laki-laki itu.
Hidung mancung Alin yang mungil, dulu sering ia sentuh dengan telunjuk. Malah terkadang sering ia tarik dengan jari telunjuk dan tengahnya, seperti mencapit, sampai alin mengaduh, barulah laki-laki itu melepas japitannya. Dan, setelah itu yang dilakukan Alin adalah mengelus-elus hidung sambil memasang wajah sinis. Seolah berkata, jangan sentuh-sentuh hidung mancungku. Kelakuan Alin seperti itu, laki-laki itu akan tersenyum dan semakin gemas melihat Alin. Maklum hidung laki-laki itu tidak mancung.
Bibir Alin yang tidak tipis, tidak terlalu tebal berwarna merah jambu dan dihiasi setitik tahi lalat pada bagian sudut sebelah kiri bibirnya, yang dulu sering mengoda laki-laki itu memerahnya dengan bibirnya sendiri sekarang sangat pucat. Mata bulatnya yang dulu terlihat sangat bersinar, sekarang menjadi sayu dan memiliki kantung mata. Hanya bentuk alisnya yang masih sama. Tidak disulam. Hal yang lagi digemari perempuan zaman sekarang. Yang belum laki-laki itu lihat lagi adalah senyuman Alin, dulu pernah memikatnya membuat laki-laki itu jatuh cinta ketika pertama bertemu, lalu apakah sekarang senyuman itu akan membuatnya terpikat lagi.
Sesekali laki-laki itu mengelus punggung tangan kiri Alin yang putih memucat.
Laki-laki itu cukup puas memandangi wajah Alin tanpa Alin merasa terganggu. Itu salah satu alasan kenapa laki-laki itu memesan kamar yang hanya untuk satu pasien. Agar puas memandangi wajah Alin. Seperti kebiasaannya dulu.
Tapi dengan terus menerus memandangi Alin, kenangan muncul satu persatu. Membawa laki-laki itu mundur kebelakang. Sekitar enam tahun yang lalu.
***

Comments
Post a Comment