ALIN (Bagian Ketiga)

ALIN

Oleh: Abdi Rahmatsah Siregar

Penyunting: gitarambe (ig)
Foto: denissadevy/analogdiction (ig)
Desain Sampul: irfanulyak (ig)

---

Bagian Ketiga

"Jadi kamu mau kita putus?!" Tanya Alin. Air mata yang ia tahan sedari tadi akhirnya jatuh. "Tega banget kamu. Kamu tahu kan, aku jauh-jauh ke sini karena aku ingin nebus kesalahan aku. Aku tahu, belakangan ini aku sibuk dengan kuliahku. Aku mau wisuda tahun depan Sa. Maaf Sa kalau aku gak punya waktu buat kamu. Tapi tolong mengerti aku Sa."

Masa diam. Alin berhenti sejenak, berusaha mengendalikan diri. Alin menghapus air matanya dengan lengan bajunya. Bahu Alin naik turun, nafasnya pun tersengal-sengal, diiringi suara sengguguk.

"Kamu tahu Sa." Lanjut Alin. "Kalau kamu mau mutusin aku. Kenapa kamu gak ngomong sebelum aku berangkat ke sini atau paling tidak setelah aku kembali ke Jakarta Sa. Kamu brengsek Sa. Aku benci kamu Sa!" Alin setengah berteriak. Tangis Alin pun kembali lagi.

"Aku minta maaf." Kata Masa mengakhiri. Lalu pergi meninggalkan Alin di lobi hotel tempat Alin menginap. 

Malam itu langit cukup cerah dengan menyisakan beberapa bintang. Karena bintang-bintang yang lainnya sudah kembali keperaduan masing-masing. Sebab malam memasuki larut. Suasana terasa lelang. Dan, Alin masih terpaku di lobi hotel. Angin malam yang dingin tidak ia hiraukan. Sudah satu jam ia di lobi hotel itu. Hingga akhirnya resepsionis memintanya untuk masuk. 

Alin baru dua hari di kota Medan dan akan tersisa dua hari lagi. Tapi karena kejadian ini. Alin akan mempercepat  kepulangannya ke Jakarta. Ia tidak bisa memejamkan mata. Terjaga sepanjang malam dengan kalutnya. Yang ia inginkan saat itu malam segera berlalu. Besok pagi, Penerbangan pertama. Itulah yang ia pikirkan sepanjang malam.

***
Setelah dinyatakan lulus SMA dan dinyatakan lulus di universitas negeri. Seorang diri, dari Medan Masa pun bertolak ke Jakarta. Untuk pertama kalinya ia menginjakkan kaki di Jakarta. Tujuannya hanya satu. Kuliah. 

Di Jakarta, Masa cepat berbaur. Cara hidup orang-orang Jakarta telah ia serap dan ia praktek. Perkulian pun dimulai. Tahun ajaran baru. Dua bulan berselang, Masa telah memiliki tambatan hati. Alin yang juga mahasiswi baru sepertinya. Pertemuan mereka terjadi di sebuah foodcourt mall yang dekat dengan kampus itu. Disuatu siang, Masa ingin menemui temannya yang berasal dari Medan. Maklum sesama perantauan membangun koneksi itu sangat penting.  Dan, teman perempuannya itu  bersama seseorang perempuan. Yang kemudian ia kenal sebagai Alin. Nama yang indah. Belum lagi senyumnya. Bagi Masa senyum Alin sangat manis. Seakan pernah ia merasakan sebelumnya.

Tidak lama dari pertemuan itu mereka pun jadian dan ini hal yang baru bagi Masa. Pacaran. Hal yang tidak pernah terpikirkan olehnya. Sebab Masa adalah pemuda yang enggan untuk memiliki hubungan lalu berkomitmen dengan orang lain, yang bukan siapa-siapa awalnya. Masa tidak ingin hidupnya diatur-atur oleh orang yang tidak memiliki kontribusi dalam hidupnya. Seperti orang tuanya yang selalu memberinya uang jajan bulan. Tapi saat ini, Alin, ia buat pengecualian. 

Masa merasakan bagaimana rasanya kasmaran. Bagaimana rasanya betapa perempuan itu adalah makhluk yang susah ia mengerti. Tetapi Masa menikmatinya. 

Masa hanya bertahan satu tahun di universitas negeri itu. Sebab, ia harus kembali ke Medan. Orang tua Masa bangkrut. Grosir jualan pakaian jadi yang selama ini menghidupi mereka harus tutup. Ayahnya ditipu dan utang dimana-mana. Ayahnya pun menjadi sakit-sakitan. 

Masa adalah anak yang pengertian. Ia cepat paham dengan keadaan keluarga mereka. Ia memutuskan berhenti menjadi mahasiswa. Sebelum memutuskan benar-benar berhenti jadi mahasiswa. Masa, diberikan solusi oleh seniornya. Yaitu untuk mengajukan beasiswa. 

Ada dua. Beasiswa kurang mampu dan beasiswa berprestasi. Seniornya itu siap membantu asal mendapat persenan. Masa teramat muak dengan orang-orang yang ingin membantu namun mengharapkan imbalan. Selain itu Masa merasa dia bukan lah mahasiswa yang berprestasi apalagi mahasiswa kurang mampu. Baginya ia sangat mampu. Hanya saja saat ini keluarga lebih penting baginya. Jika ia pun bisa mendapatkan salah satu dari beasiswa itu. Maka tidak bakal ada yang akan menafkahi keluarganya. Kedua adiknya pun tidak akan bisa bersekolah. Jika ia tidak bisa merasakan bangku kuliah, tidak mengapa. Asal kedua adiknya bisa bersekolah kalau ia pulang. Tekadnya bulat. Ia harus pulang.

Meski kembali ke Medan, Masa dan Alin tetap melanjutkan hubungan mereka. Alin tidak bisa menahan Masa untuk tidak berhenti atau tetap berada di Jakarta. Sebab musibah yang menimpa Masa sangat pelik. 

Alin memiliki keluarga yang ekonominya jauh lebih baik. Ia pun berinisiatif akan mengunjungi Masa. Dalam setahun Alin bisa tiga sampai empat kali menemui Masa di kota Medan sembari berlibur. Awalnya Masa tidak mengizinkan Alin ke Medan. Tetapi Alin bertahan dengan keinginannya. Masa pasrah. Sebab ia sadar tidak punya hak untuk melarang Alin. 

Alin pun jadi mengenal keluarga Masa. Keluarga Masa pun sangat baik memperlakukan Alin meski kehidupan mereka pas-pasan. 

***
Masa telah meninggalkan hotel. Ia langsung pulang. Sepeda motor bebek yang sudah butut, ia paksa untuk melaju lebih cepat agar bisa segera sampai dirumah. Jika sudah selarut ini pulang. Masa hanya memikirkan bagaimana agar ia secepatnya sampai ke rumah lalu menuju ke tempat peraduan. Karena pukul 4 pagi, ia harus bangun berjualan sayuran di pasar. Rutinitas Masa selama tiga tahunan terakhir sebagai tulang punggung keluarga. 

Satu bulan, dua bulan, sampai masuk di penghujung tahun, sekitar sebelas bulan kemudian dari kejadian ia memutuskan Alin. Baru lah Masa merasakan kehilangan. Perasaan bersalah menghantuinya. Ia menyesal. 

Rasa rindu menyerang Masa. Membuat Masa ingin sekali bertemu Alin atau jika tidak bisa karena jarak, mendengar suaranya saja pun cukup. Masa mulai uring-uringan. Ibu Masa menyadari itu.

"Kau kenapa?" Tanya ibunya dengan logat khas orang Medan. Suara ibunya itu memecah lamunan Masa, yang saat itu sedang mengaso di teras rumah semi permanen yang mereka sewa. Rumah yang mereka tempati semenjak keluargnya bangkrut. Rumah itu sangat sempit untuk mereka berlima. Hanya dua kamar tidur berukuran 3 x 3, satu kamar mandi. Dapur, ruang tamu, ruang tv, ruang makan, lemari  yang menjadi satu. Yang juga menjadi tempat parkir dua sepeda motor mereka. Ketika mereka semua akan mengakhiri malam. Sempit sekali. 

Setelah hampir setengah tahun menghabiskan waktu ditempat tidur, saat ini, ayahnya pun sudah mulai bisa membantu ibunya berjualan sarapan, mi balap. 

Setiap pagi, di teras rumah mereka akan ada, meja kecil tempat kompor dan steeling kaca yang hampir metutupi teras rumah mereka. Buka dari pukul enam pagi, di steeling kaca itu akan ada dua tumpukan mi putih, setinggi setengah meter. Dan, tumpukan itu seperti gunung salju. Gunung salju itu akan mencair, habis ludes paling lama tiga jam kemudian. Dan, setiap paginya, dua baris meja pajang dan 4 kursi panjang yang berukuran 1,5 meter pun akan melintang di halaman rumah kontarakan itu dan menyisakan sedikit ruang untuk parkir setengah bodi kendaraan roda dua. Karena setengahnya lagi akan memakan bahu jalan. 

Gang yang hanya muat satu mobil itu, akan ramai. Tidak hanya tetangga mereka yang di gang itu yang akan membeli. Tapi dari gang sebelah, sebelahnya lagi, sebelahnya lagi, juga gang-gang yang berjarak 3 kilometer dari rumahnya pun membeli sarapannya di situ. Tidak sedikit pelanggan-pelanggan mereka itu menyarankan untuk pindah ke depan, dekat dengan jalan raya. Agar aksesnya mudah. Ide itu sudah lama dipikiran Mamak Masa, jauh sebelum pelanggan-pelanggannya itu memberikan saran. Tapi permasalahannya, kalau dipindah ke depan, akan menyewa tempat, minimal ruko sepetak dan mamaknya belum memiliki modal untuk sewa ruko. 

Selain bapaknya, Masa, adik-adiknya yang kadang-kadang membantu. Ibunya juga telah merekrut dua tetangganya sebagai karyawan yang sudah bekerja setengah tahun. 

Mi balap dagangan ibunya memang sangat enak. Hanya mi balap. Yang membedakan hanya, pedas, sedang, biasa atau porsi jumbo. Alin yang pertama kali mencoba pernah mengatakan ini akan menjadi daftar makanan favoritnya. Terbukti, setiap Alin berada di Medan, paginya akan selalu sarapan mi balap masakan mamak Masa. Setelah itu, Alin akan membantu mamak Masa. Meski awalnya dilarang oleh mamak Masa. Tapi Alin memaksa.

"Mak, kenapa aku rupanya?" Dengan kekikukan, Masa balik bertanya.

"Sudah. Jangan kau sembunyikan. Aku ini mamakmu. Apa lagi yang kau pikirkan? Adek mu satu udah lulus SMA. Bapakmu udah sembuh. Sudah bisa membantu-bantu aku. Sewa rumah udah kita bayar bulan lalu. Mamak heran lihat tingkah mu beberapa hari ini. Apa rupanya yang kau pikirkan?" 

Belum lagi Masa menjawab mamaknya sudah berbicara lagi.

"Teringat Mamak, kayanya udah hampir setahun kawanmu yang dari Jakarta itu enggak kemari ya." 

"Alin namanya Mak." Suara Masa datar.

"Hah, iya, Alin!" Kata Mamak Masa mengingat. "Sampai lupa aku namanya. Udah setahun dia gak ku tengok." Lanjut mamaknya. 

"Jangan-jangan sudah putus kalian ya?" Tanya mamaknya sembarangan.

Masa hanya diam saja melihat mamaknya itu. "Kapan kalian putus?" Tanya Mamaknya penasaran.

Masa pun menghela nafas. Kemudian berkata, "udah setahun yang lalu Mak."

"Bah, kok gak tahu aku. Siapa yang memutuskan?!"

"Aku Mak." Jawab Masa dengan rasa penyesalan.

"Bodoh kau!"

Masa diam.

"Kenapa kau putuskan?"

"Aku sebenarnya gak mau putus." Kata Masa memulai.

"Terus?"

"Jadi gini Mak, kan kami, sebenarnya udah hampir 4 tahun lah pacaran itu. Di jakarta setahun, sisanya di sini. Terus aku, di sini, keadaanku kan begini. Sementara dia perempuan kuliahan, anak orang kaya pula. Jadi, terlintaslah dipikiranku, menguji dia, kayak sebelum-sebelumnya."

"Maksudmu?" Tanya mamaknya.

"Dulu juga udah pernah ku uji dia. Dua kali. Pertama, pas aku mau berhenti kuliah dan pulang itu. Kuputuskan dia, tapi seminggu kemudian dia ngajak balikan. Terus, setahun sebelum kami putus pun ku uji lagi, balikan lagi. Nah, tahun lalu pun aku nguji lagi. Tapi sebulan kemudian ku tunggu-tunggu, gak ada diajaknya balikan. Dua bulan pun, aku pula yang lupa. Sekarang lah aku baru kepikiran sama dia lagi." Masa menjelaskan.

"Memang Bodoh kau Sa!" Suara ibunya meninggi. Sampai-sampai Masa harus menempelkan jari telunjuknya dibibir. Mamaknya pun sadar kalau mereka ada di teras rumah.

"Kenapa pula kau uji-uji anak orang." Suara ibunya mengecil.

"Kau memangnya siapa menguji orang seperti itu."

Masa diam.

"Gak ada hak mu untuk menguji orang lain."

Dua kali. Ketiganya kali wajar dia gak mau lagi. Kalau aku jadi dia, pas pertama kali pun sudah gak mau lagi aku balikan. Sekarang kau kan yang menyesal. Padahal Sa, Mamak suka lihat Alin itu." 

"Tapi iyalah, sudah terjadi. Jangan gara-gara itu sakit kau. Habis bapakmu, kau pula. Kok aku, mati ajalah aku." Mamaknya memperingatkan dan ada rasa khawatir. 

"Tapi kayak kata orang-orang, kalau jodoh enggak kemana itu. Jadi jangan putus semangat." Kalimat penutup mamaknya memberikan keniscayahaan pada hati Masa. Setelah itu ibunya meninggalkan Masa di teras. Saat itu, Masa pun membuat sebuah harapan baru yaitu mendapatkan cinta Alin lagi dan terbesit dihatinya akan menikahi Alin. Berarti aku harus bekerja lebih keras lagi, begitu batinnya. Tetapi harapan dan niatnya ini akan ia kubur beberapa tahun kemudian.

Azan magrib yang berkumandang pun menyadarkan Masa untuk menyudahi khayalannya dan segera meninggalkan teras untuk masuk ke dalam rumah. 



***
Sesampainya di Jakarta Alin tidak langsung ke rumah. Izin dengan ayahnya empat hari ia akan liburan di Medan. Setelah mendapat taksi, Alin pun menuju rumah Farah. Alin tahu kalau Farah liburan akhir tahun kali ini tidak akan kemana-mana. 

"Masa mutusin gue lagi Rah. Tiba-tiba. Padahal gue udah minta maaf" Alin menangis lagi di kamar Farah. 

"Ini udah yang ketiga kali, loh Lin. Udah lah. Lo lupain aja Masa. Mending kita fokus kuliah, biar tahun depan kita bisa wisuda di gelombang pertama."

"Iya Rah. Tapi gue mau malam ini lo temenin gue." 

"Kemana?" Tanya Farah.

"Temenin gue dugem, gue pengen mabok."

"Emangnya lo pernah dugem sama mabok?" Tanya Farah lugu.

"Kalau gue pernah dugem, ngapain gue ngajak lo." Jawab Alin kesal.

"Ya kan gue nanya Lin. Tumben aja gitu." Kata Farah memelas. Alin diam saja. "Kalau gitu, lo tidur aja istirahat aja dulu. Gue mau bantuin nyokap dulu di dapur." Lanjut Farah. Meninggalkan Alin di kamarnya seorang diri.

Malam pun tiba. Setelah mendapat izin dari kedua orang tua Farah. Tentu alasannya berbeda dari tujuan mereka. Jika mereka jujur, izin tidak akan mereka dapatkan.

"Lo yakin mau masuk ke dalam?" Tanya Farah ragu. Ketika mereka sesampainya di parkiran diskotik itu.

"Iya." Jawab Alin mantap.

Mendengar itu, Farah pun mematikan mobilnya. Mereka turun melangkah menuju pintu ke bagian dalam. 

Mereka pun memasuki pintu diskotik yang megah itu, yang mereka dapati lorong panjang yang gelap dari sini dentuman musik terdengar. Ujung lorong itu sebuah pintu besi yang di jaga dua orang berbadan tegap. Mereka pun diperiksa dan diperbolehkan masuk. Setelah pintu besi dibukakan, mereka harus berbelok kekiri, dari sini suara musik semakin jelas, kemudian ke kanan. Sesampainya di dalam, mereka melewati meja bartender yang memanjang sampai ke pintu keluar yang di sisi satunya. Mereka pun kini berdiri membelakangi meja bar itu. Dihadapan mereka ruangan yang luas. Dan, di seberang merekat terdapat panggung, setinggi dada orang dewasa. Ruangan yang luas itu di Di kelililingi meja-meja. 

Masih sepi. Alin pun memperhatikan sekitar, seperti mencari sesuatu. Setelah bola matanya bergerak ke sana kemari. Ia pun menemukan yang ia cari. Tangga menuju lantai dua. Ruangan itu memiliki banyak lampu berwarna yang bergantungan di langit-langitnya dan kesemuanya berkedip-kedip membuat mata berkunang-kunang dan kepala menjadi pusing dan di bagian tengah terdapat lampu bulat besar hitam memiliki titik-titik berwarna dan berputar-putar. Alin pun melangkah menuju tangga, di ikuti oleh Farah. Untuk mencapai tangga berada di sisi kanan ruangan mereka harus melewati ruangan yang luas itu. Tidak perlu berdesakan. Sebab jika ramai, ruangan itu akan dipenuhi orang-orang yang akan berjoget. 

Mereka pun berada diselasar lantai dua. Di lantai dua ini ternyata hanya ada pintu-pintu berwarna merah, yang kesemuanya tertutup. Mungkin ada 30 pintu mengelilingi bagunan persegi itu. Dinding-dindingnya masih sewarna dengan yang di lantai satu. Warna-warna gelap. Sesekali Farah melihat ke bawah, ke lantai satu yang masih sepi. Mungkin karena masih pukul delapan kurang. Pagar besi menjadi  pembantas selasar itu. Alin pun mengeluarkan ponselnya. Berencana mengelilingi selasar itu. Tak berapa lama pintu yang pojok, di hadapan mereka pun terbuka. Laki-laki kurus tinggi pun keluar. 

"Lin, di sini." Seru laki-laki kurus itu.

Alin dan Farah pun melangkah maju, melewati beberapa pintu. Farah merasa ngeri ketika melawati pintu-pintu merah itu. Memikirkan apa yang ada dibaliknya. Sesampainya di mulut pintu ruangan itu, Alin pun mengenalkan Farah kepada temannya, laki-laki kurus itu. 

Laki-laki kurus itu adalah teman SMA Alin. Andi namanya. Andi pun mempersilakan mereka masuk.  Di dalam ternyata teman Andi, laki-laki gemuk yang sedang asik bernyanyi. Laki-laki gemuk itu pun berhenti bernyanyi, sadar akan kedatangan Alin dan Farah. 

Saat itu, temaram cahaya tv datar itu lah sebagai penerang ruangan karoke yang luas itu. Dan, wajah laki-laki gemuk yang penuh dengan bekas-bekas jerawat terlihat jelas. Alin dan Farah merasa seram melihat laki-laki gemuk itu, Ricki. Adalah teman Andi.

Ruangan karoke itu cukup luas, kalau hanya di isi oleh empat orang. Saking luasnya, ditambah sepuluh orang lagi pun masih memungkinkan. Andi mempersilakan Alin dan Farah duduk di sofa panjang itu. Farah duduk paling kanan, yang paling dekat dengan pintu, kemudian Alin, Andi dan Ricki. Meja yang di hadapan mereka pun sudah ada cemilan dan beberapa jenis minuman kaleng dan botol, yang Alin dan Farah tidak mengenalinya. 

Setelah semua saling mengenal. Mereka pun mulai bernyanyi, berkaroke, bergantian dan sesekali duet. Setelah beberapa lagu, Andi pun menawarkan sloki kepada Alin.

"Apa ini?" Tanya Alin setelah menerimanya sambil membaui minum itu. Aromanya manis, pikir Alin.

"Air leci dicampur vodka." Kata Andi setengah berteriak ke telingan Alin. Saat itu, Ricki sedang asik bernyanyi sendiri. Kemudian Andi pun memberikan kepada Farah. Farah menerimanya.

Mendengar jawaban temannya dan melihat Farah juga sudah memegang minumannya. Alin melirik kepada Farah, seolah mengatakan, mari kita coba. Lalu Alin meneguk habis sloki air leci yang sudah dicampur vodka itu. Sensasi terbakar pun menjalar ditenggorkan Alin. Ia tidak menyangka minuman yang tampaknya manis ini, akan seperti ini. Alin pun terbatuk-tabuk. Melihat itu Andi tertawa, menepuk sekali bahu Ricki, Ricki pun menoleh, menyeringai melihat Alin. Farah yang melihat itu semakin ragu. Namun, karena di paksa Alin ia pun meminum setengah. Dan, reaksi Farah sama seperti Alin. 

Satu jam kemudian, masih diruangan itu, Farah hanya habis sloki. Sementara Alin menghabiskan lima sloki. Dan, Alin pun mabuk berat. Karena Alin sudah mabuk berat dan muntah beberapa kali. Farah pun meminta kepada Andi untuk membantunya mengantar Alin ke mobil Farah, mereka akan pulang. Karena melihat kondisi Alin yang sudah tidak memungkinkan. Andi pun bersedia.

Mobil mereka pun menjauh meninggalkan tempat itu. Meski merasa kepalanya berat Farah tetap berusaha normal menyetir mobil. Sementara Alin yang duduk di sebelahnya, meracau, menangis, memaki-maki Masa, lalu diam. Berulang-ulang. Perjalan satu jam setengah yang Farah tempuh menuju rumahnya membuat ia iba melihat Alin.

Malam itu, dua perempuan yang belum lagi genap 21 tahun untuk pertama kalinya mencoba minuman beralkohol.

***
Masa merasa kenangan enam tahun lalu yang muncul di kepalanya itu menguras terlalu banyak energinya. Rasa kantuk menghapirinya. Pikiranya saat ini dipenuhi tentang harapanya yang ia bangun enam tahun lalu dan harapanya itu hanya bertahan empat tahun kemudian. Karena sekitar dua tahun lalu, sebelum saat ini, Masa sebenarnya pernah menghubungi Alin. Belum lagi Masa ingin menyampaikan harapannya, hanya ingin bertemu saja. Alin menolak untuk bertemu. 

Ajakan pertama, alasannya sibuk. Alasan kedua, Alin mengaku sudah punya pacar. Dan, setelah ketiga kalinya Alin tetap menolak ajakan Masa, saat itu juga Masa mengubur harapannya. Sebab bagi Masa, apapun itu, jika sudah tiga kali. Maka lebih baik disudahi saja. 

Saat itu, Masa berpikir ia adalah laki-laki yang masih memilik harga diri. Ia pun mengubur dalam-dalam harapannya itu. 

Perempuan yang dulu menolaknya untuk bertemu saat ini ada dihadapannya terbaring lemah. Jika mengingat kejadian semalam sampai dengan saat ini, Masa sedikit tergelitik. Sebab bagi Masa, cara kerja semesta untuk mempertemukannya dengan seseorang itu selalu aneh dan tidak disangka-sangka. Itu juga yang ia pikirkan tadi pagi ketika diteras rumah Alin.

Masa pun menarik nafas panjang, menahannya beberapa detik dan melepaskannya perlahan. Hal ini selalu manjur bagi Masa untuk mengurangi apa yang berputar-putar dipikirannya. 

Di kursi tempat ia menunggui Alin yang sedang terbaring. Masa melipat kedua tangannya dan meletakkan di sisi tepi ranjang tempat Alin terbaring. Sedikit membungkuk Masa pun meletakan dahinya di atas lipatan tangannya. Masa pun tertidur. 

***



Comments