ALIN (Bagian Keempat)

ALIN

Oleh: Abdi Rahmatsah Siregar

Penyunting: gitarambe (ig)
Foto: denissadevy/analogdiction (ig)
Desain Sampul: irfanulyak (ig)

---

Bagian Keempat

Matahari tergelincir ke Barat. Sayup-sayup azan magrib terdengar dibawa oleh angin. Di luar gerimis sudah reda. Menyisakan bulir-bulir air yang menempel pada permukaan yang dibasahinya. Masa terbangun. Ia mendongakkan kepalanya. Memastikan keadaan Alin. Alin ternyata sudah bangun. 

"Hai!" Sapa Masa sambil tersenyum tulus.

"Hai!" Balas Alin lemah, suaranya serak.

"Udah lama bangunnya?" Tanya Masa. Alin menganggukkan kepala.

"Kamu kok gak langsung bangunin aku?" Tanya Masa. Alin hanya tersenyum tipis.

Alin sebenarnya membangunkan Masa. Memang tidak secara sengaja dan tidak langsung ia lakukan ketika ia sadar. Sebab saat Alin membuka matanya sejam yang lalu. Alin melihat, Masa tidur sangat pulas meski dengan posisi duduk seperti itu. Jadi, Alin membiarkan Masa terlelap. Dan, Alin hanya memandangi Masa. Walau wajah Masa tidak terlihat utuh dari tempat ia berbaring.

Saat memandangi Masa, Alin ingin mengelus kepala Masa tapi urung ia lakukan. Ada sesuatu hal yang menahannya. Bukan hanya ia takut Masa terbangun tapi laki-laki ini pernah ia benci, ia hindari, dan lagipula mengelus kepala seorang laki-laki yang bukan siapa-siapanya adalah perbuat yang tidak terpuji bagi seorang istri meski memiliki suami yang bajingan.

Sebelum Masa terbangun, setelah menahan diri beberapa saat, Alin pun mendekatkan lengannya ke kepala Masa yang tertunduk. Awalnya ia hanya menyentuh rambut Masa yang hitam dengan ujung jari telunjuknya. Setelah itu, Alin tidak kuasa lagi ingin mengelus kepala Masa atau mengacak-acak rambut Masa seperti dulu yang pernah ia lakukan. Tapi ketika ia ingin melakukan itu tiba-tiba saja Masa terbangun. Dan, Alin pun kaget  menjadi gugup. Untung saja Masa tidak menyadari kegugupan Alin.

"Kamu mau minum gak?" Tanya Masa. Alin mengangguk lagi sambil menghilangkan kegugupannya.

Masa pun berjalan mengambil segelas air dari dispenser yang ada di pojok ruangan. Ia kembali ke sisi Alin. Sebelum ia menyerahkan gelas. Masa menanyakan apakah Alin keberatan jika setengah bagian ranjangnya, posisinya dibuat sedikit tegak agar Alin mudah minum. Alin pun tidak keberatan. Masa pun menekan tombol yang ada dibawah ranjang persis tempat ia berdiri. Setelah Alin merasa nyaman, Masa pun menyerahkan gelasnya. Tangan Alin pun meraihnya. Genggaman Alin masih lemah. Masa pun membantu Alin memegangi gelas tersebut dan Alin pun minum. Tidak habis setengah Alin merasa cukup. Kemudian Masa pun meletakan gelas itu di meja sebelah ranjang Alin.

"O...iya." Kata Masa tiba-tiba.

"Farah dan Ryan kayaknya mau jeguk kamu malam ini. Tadi aku ngasih tahu Ryan kalau kamu masuk rumah sakit." Kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya. "Aku minta nomornya si Bibi dong atau nomor telepon rumah kamu juga gak apa-apa." Lanjut Masa. Sambil menyerahkan ponsel yang baru ia keluarkan itu. "Aku gak tahu sandi handphone kamu." Kata Masa sambil tersenyum.

Setelah mendapatkan nomor ponsel Bibi dan nomor telepon rumah Alin. Masa pun menelepon dan memberi tahu kepada Bibi Alin sudah sadar dan Alin baik-baik saja. Dan, Masa pun memberi tahu, besok ia akan menjemput Bibi dan Kakak untuk melihat Alin.

Pukul 19:00. Farah dan Ryan berada di lift lantai 5 menuju kamar tempat Alin di rawat. Keluar dari lift, mereka mendapati tiga lorong memanjang yang sepi. Langsung lurus saja ketika keluar lift, berbelok ke kanan atau ke kiri. Mereka tidak melihat satu pun orang untuk ditanyai. Tetapi tidak jauh dari tempat mereka berdiri, di salah satu bagian dinding bercat putih itu terdapat denah lantai 7 gedung itu. Ryan pun melangkah mendekati denah itu. Ia mencari-cari tulisan kata yang cocok sesuai dengan yang diberitahukan Masa. Setelah beberapa detik, Ryan pun menemukan tulisan lavendula. Lurus saja, pikirnya.

Setelah mengetahui Ryan pun memberitahu Farah kalau mereka harus berjalan lurus. Mereka pun menyusuri lorong itu. Melewati beberapa pintu yang entah ada atau tidak penghuni di dalamnya. Pada setiap daun pintunya ditempeli nama-nama bunga dalam bahasa ilmiah. Mulai dari rosa, yang pasti semua orang awam tahu maksudnya adalah bunga mawar sampai dengan nama bunga hanya sedikit orang saja yang tahu yaitu helianthus annuus. 

Mereka pun menemukan kamar Alin. Pintu ketiga terakhir. Farah mengetuk pintu. Tidak begitu lama, Masa pun membuka dari dalam. Masa pun mempersilakan mereka masuk. Farah dan Ryan telah berada di dalam kamar lavendula. Masa mempersilakan duduk di sofa yang langsung didapati ketika memasuki kamar itu. Tapi Farah dan Ryan mengikuti langkah Masa menuju ke arah Alin. Masa duduk di kursinya lagi yang berada di sebelah kiri Alin. Farah dan Ryan berdiri disebelah kanan Alin.

"Ya begini lah." Kata Masa seolah mengetahui isi hati Alin. Sambil mengambil kembali semangkuk bubur, ingin melanjutkan apa yang Masa lakukan tadi, menyuapi Alin. Sudah hampir 20 menit, Masa melakukannya. Alin sebenarnya tidak mau makan bubur itu. Tapi Masa memaksa. "Sedikit-sedikit aja." Begitu tadi Masa membujuk.

Farah tidak menyangka kalau Alin bakal memakai selang nasal kanul. Ia mengira kalau Alin hanya pingsan, paling tidak hanya infus saja. Seingat Farah ini yang pertama.

"Cepat sembuh ya." Kata Farah iba. Sambil memeluk dan mencium kening Alin. "Dihabiskan itu makanannya. Terus nanti makan buah-buahan yang Farah bawa." Ryan menimpali sambil menyeringai.

Soal buah-buahan. Ternyata buah-buahan itu ketinggalan di mobil mereka. Farah merasa malu. Farah tidak habis pikir betapa pelupanya tunangannya ini. Ini bukan kali pertama bagi Farah. Pernah beberapa hari yang lalu, ketika mereka hendak menonton film pemutaran perdana, mereka jadi terlambat gara-gara Ryan lupa di mana meletakkan ponselnya. Setelah dicari-cari ternyata berada di bagasi belakang mobilnya. Kenapa bisa ada di bagasi? Hanya Ryan lah yang tahu apa yang dilakukannya dibagasi ketika menunggui Farah diparkiran apartemen.

Dan, tadi sebelum turun dari mobil, Farah sudah mengingatkan. Farah pun kesal dengan Ryan dan ia mengocehi Ryan. Ryan yang mendengar ocehan Farah hanya menggaruk-garuk kepala botaknya yang sama sekali tidak gatal. Alin dan Masa tersenyum melihat pasangan yang baru tunangan ini.

Setelah kekesal Farah diredakan oleh Alin, Farah pun meminta kepada Masa, ia saja yang melanjutkan menyuapi Alin. Farah menyuruh untuk Masa beristiharat di sofa atau ngobrol keluar mencari segelas kopi dengan Ryan sekalian mengabil buah-buahan yang ketinggal di mobil itu. Karena Alin pun menyetuji ide Farah. Masa pun menyerahkan tugasnya itu.

Masa ternyata lebih memilih yang kedua. Membeli segelas kopi dan menemani Ryan mengambil buah-buahan yang ketinggalan di mobil.

"Suami lo dimana sih?" Tanya Farah ketika hanya tinggal mereka berdua.

"Pergi. Udah sebulan belum pulang." Kata Alin datar. Farah pun tidak menanyakan lagi.

Ia pun menyuapi Alin Meski Awalnya Alin mengatakan sudah kenyang. Namun Farah punya senjata yang cukup jitu.

"Entar, Masa ngomel loh." Kata Farah mengoda.

Mendengar itu Alin menuruti dan  membuka mulutnya. Dengan Makanan yang masih ada dimulutnya Alin pun berkata. "Lo sama dia kan sama aja. Punya mulut suka pedes banget omongannya."

"Itu to the point namanya." Kata Farah menyeringai. "Lagian tipikal orang Medan kan gitu." Lanjut Farah. Farah memang berdarah Batak. Tapi ia hanya lahir saja, setelah ia berumur setahun, ia dan keluarganya pun hijrah ke ibukota Jakarta. Farah pun lebih cocok jadi orang Jakarta ketimbang menjadi orang Medan atau pun Batak.

Sementara Masa adalah keturunan Melayu yang tumbuh besar di kota Medan. Untuk hal ini, Masa terkadang merasa geli, ketika ia mengatakan ia dari Medan orang-orang langsung menanyakan marganya. Padahal kalau dipikir-pikir Medan itu adalah salah satu wilayah yang ada di provinsi Sumatera Utara dan penduduk aslinya adalah orang-orang Melayu. Sementara orang-orang Batak, dulunya bermukim lebih ke daerah dataran-dataran tinggi yang ada di provinsi itu.

"Lo Batak apanya sih? Bahasa Batak aja gak tahu." Sela Alin.

Mereka pun bercerita panjang lebar.

***
"Entar malam lo kemana?" Tanya Alin lewat pesan kepada Andi. 

"Gak kemana-mana." Balas Andi.

"Malam Minggu, gak kemana-mana. Cupu lo!." Balas Alin.

"Apaan sih! Emang lo mau kemana?" Tanya Andi.

"Dugem yok. Minggu lalu kan gak jadi cuma karokean doang."

"Ayo! Gue bawa temen." Balas Andi.

"Oke." Balas Alin.

Malam pun tiba. Ini akan menjadi yang kedua kali untuk Alin dan seterusnya akan menjadi kebiasaan buruk Alin. Alin, Andi, dan Ricki, laki-laki yang gemuk yang Alin kenal Minggu lalu. Mereka mendatangi tempat yang sama seperti Minggu lalu. Tapi kali ini, mereka tidak akan ke lantai dua lagi. Hanya di lantai satu.

Setelah menghabiskan dua gelas bir. Andi pun memasuki arena tempat orang-orang berkumpul menggoyang-goyangkan seluruh tubuh mereka. Awalnya ia mengajak Alin. Alin menolak sebab ia belum pernah dan merasa canggung. Andi pun meninggalkan Alin dan Ricki.

Dentuman musik-musik EDM pun silih berganti beralun dimainkan oleh sang DJ. Sesekali musik yang dimainkan oleh sang DJ adalah lagu-lagu galau yang Alin dengarkan belakangan ini. Hingga lagu rolling in the deep bergema, Alin yang sudah sepenuhnya dikuasi oleh minuman pun tidak kuasa lagi ketika di ajak oleh Ricki. Mereka pun berjoget. 

Setahun berlalu. Kuliah Alin menjadi terbengkalai target yang ia buat, tidak ia laksanakan. Kesibukannya dengan dunia malam yang gemerlap menghancurkan semua itu. Sementara Farah sudah lebih dulu menyelesaikan kuliahnya. Sesuai dengan target yang dibuatnya.

"Hai!" Kata Farah menelepon Alin.

"Hai!" Jawab Alin setengah sadar. 

"Lo di rumah kan? Gue mau ke sana." Kata Farah.

Setelah lulus, Farah langsung mendapat pekerjan. Kesibukan baru yang ia miliki sekarang membuat Farah dan Alin jarang bertemu. Sebulan sekali belum tentu. Saat itu, sudah hampir tiga bulan mereka tidak bertemu.

Farah pun mendapati Alin sedang bermalas-malasan di atas tempat tidurnya. Kamarnya yang seperti kapal pecah sama seperti wajah Alin saat itu. Badannya pun mengeluarkan aroma alkohol yang mengganggu penciuman Farah.

"Mau sampai kapan lo begini?" Tanya Farah sambil menyingkap tirai jendala Alin. Alin pun langsung menghalangi cahaya yang menyilaukan matanya dengan telapak tangannya. Farah tidak perduli. Ia pun membuka jendela dan daun pintu balkon kamar Alin. Cahaya matahari pun menyenari seisi kamar Alin. Begitu juga udara segar yang berguna untuk mengurangi pengapnya kamar ini.

Saat itu, Farah pun memberikan nasihat yang panjang lebar kepada Alin. Menceritakan bagaimana pengalamannya memasuki dunia kerja. Bagaimana ia bertemu dengan orang-orang baru. Dan, kesibukan itu menyita cukup banyak perhatiannya. Sehingga akan lupa beberapa hal yang remeh temeh. Jika akan teringat kembali semua akan terasa biasa saja dan akan langsung bisa dialihkan dengan pekerjaan yang terus menerus ada. Farah pun menceritakan kepada Alin, betapa menunggu transferan gaji masuk kerekening adalah hal yang paling mendebarkan. Belum lagi, betapa akan banyaknya orang-orang baru yang ia kenal dan tentu saja pasti selalu ada laki-laki idaman di setiap kantor.

Meski bukan kali pertama Alin mendengar ceramah dan cerita-cerita Farah di dunia kerja. Ternyata beberapa ada yang mengena dihatinya. Buktinya mendengar Farah yang bercerita tentang keuangan dan Farah yang sudah memiliki sebuah apartemen sendiri.

Hati Alin tergugah. Sebab, saat itu, ayahnya dengan sepihak sudah mengurangi uang bulanannya. Belum lagi mendengar telah memiliki apartemen sendiri, meski dengan mencicil. Siapa pula yang tidak iri melihat pencapaian itu. Dalam hati Alin ingin wisuda.

***
Dipenghujung tahun berikutnya Alin wisuda. Perjuangan yang melelahkan baginya. Farah yang selama ini mendesaknya pun bisa tersenyum bahagia. Untuk dibagian ini. Namun kebiasaan Alin dengan alkoholnya masih sama. Untuk di bagian yang ini Farah masih miris dengan sahabatnya ini. Hanya saja setahun belakangan sedikit berkurang sebab Alin fokus dengan kuliah dan skripsinya. Jika di awal-awal seminggu bisa tiga sampai empat kali. Saat ini, hanya mengkonsumi alkohol seminggu sekali. Paling tidak sebotol bir.

Farah mengamini kalau Alin sudah menjadi pecandu alkohol. Belum lagi ia pernah mendengar Alin berkata, kalau tidak minum badannya akan bergetar dan pikirannya resah. Namun Alin adalah peminum alkohol yang buruk. Alin akan terus membasahi kerongkongannya dengan minuman beralkohol itu sampai tidak sadarkan diri.

Malam ini adalah perayaan kelulusan Alin dan Farah pun menepati janjinya. Menemani Alin minum. Tapi Farah pun mengajukan syarat yaitu hanya sebotol wine kemudian pulang. Dan, tidak pula di tempat yang berisik dengan musik-musik EDM. Meski Alin sempat menolak syarat Farah dan berdebat panjang. Tapi Alin akhirnya menyerah. Alin tahu sahabatnya ini adalah perempuan yang gigih mempertahankan hal-hal yang tidak ia suka. Tidak sepertinya yang terkadang ia masih merasa tidak punya prinsip.

***
Sementara itu, Masa sudah berada di coffee shop. Masih satu gedung dengan rumah sakit itu. Gedung ini ada 15 lantai, lantai satu sampai dengan 5 adalah rumah sakit sisanya adalah apartemen. Lobinya pun ada dua. Lobi Timur akses ke rumah sakit dan lobi Barat akses ke apartemen. Dan, coffee shop ini berada di lobi Barat.

Masa memesan dua cappucino. Ia pun telah duduk di salah satu kursi di bagian teras coffee shop. Menunggu Ryan yang sedang mengambil buah di parkiran. Rokoknya pun ia nyalakan. Habis sebatang Ryan pun muncul.

"Bos, gue kayaknya cuti dulu seminggu ke depan. Ngurusin Alin." Pinta Masa.

"Sialan lo, pake manggil gue bos lagi." Sela Ryan.

"Kan emang lo bosnya." Kata Masa menyeringai.

"Terserah loh deh."

"Cukup seminggu? " Tanya Ryan. Masa mengangguk.

"Sebulan juga gak masalah sih. Tapi entar kalau gue honey moon, gantian. Gue mau cuti dua bulan." Gantian Ryan menyeringai.

"Kapan lo mau menikah?" Tanya Masa menyelidiki.

"Entar di atas aja gue kasih tahu. Biar Alin juga dengar." Kata Ryan.

Mereka pun menganti topik. Berbincang-bincang. Dari yang Bar mereka yang baru malam ini buka dua hari sampai rencana-rencana selanjutnya. Dan, terhenti karena ponsel Ryan berbunyi. Ryan pun menjawab telepon itu. Sementara Masa menyalakan lagi rokoknya. Asap yang ia keluarkan menari-nari diudara lalu menghilang dan pikirannya telah berada dilain waktu dan tempat.

***
Umur Masa ketika itu 23 tahun. Ayahnya pun meninggal dunia. Waktu itu, menjelang subuh. Ayahnya dibanguni oleh ibunya. Dan ternyata ayahnya sudah tidak bernyawa lagi. Padahal sehari sebelumnya, ayahnya masih membantu ibunya berjualan mi balap dan tidak menujukkan tanda-tanda sakit. 

Setahun kemudian setelah ayahnya meninggal. Adiknya yang nomor dua pun sudah menyelesaikan kuliah D3 dan adiknya yang paling bontot pun sudah Lulus SMA. Masa pun meminta Izin kepada ibunya untuk kembali ke Jakarta. Masa pun menjelaskan tujuannya. Yang pertama, melanjutkan pendidikannya yang sempat tertunda sebab tabungannya sudah lebih dari cukup. Kemudian ingin bertemu dengan Alin, meminta Maaf dan mengajaknya menikah. Kalau Alin mau. 

Hampir seminggu mamaknya itu memutuskan. Meski berat, mamaknya pun merestui permintaan Masa. Sebab, ibunya juga merasa bersalah karena mereka sebagai orang tua lah pendidikan Masa jadi tertunda. Restu didapat Masa dua hari kemudian Masa pun berangkat.

Sesampainya di Jakarta, tujuan Masa saat itu adalah kos-kosan yang dulu pernah ia tempati. Meski berdekatan dengan mantan kampusnya yang memiliki kenangan dengan Alin. Tapi Masa harus menghadapi semua perasaan itu. 

Hari ketiga ia di Jakarta, Masa pun tidak kuasa lagi menahan betapa ia sangat rindu. Di sore itu, Masa pun mencoba menelepon nomor Alin yang masih ia simpan. Untuk pertama kali setelah sekian lama Masa menelepon Alin lagi. Nomor Alin aktif, panggilan pertama Masa, tidak dijawab. Masa mencoba yang kedua.

"Halo!" Suara itu membuat Masa gugup.

"Halo!" Balas Masa gugup.

"Siapa ini?"

"Ini aku Alin, Masa." Masa mengendalikan kegugupannya.

"Kenapa Sa?" Tanya Alin datar. Sebab hanya ada satu orang nama Masa yang Alin kenal dan Alin membenci orang itu.

"Aku di Jakarta. Bisa kita ketemu." Pinta Alin.

"Untuk apa?" Nada suara Alin tidak berubah.

"Aku pengen ngobrol." Jawab Masa.

"Gak bisa. Aku sibuk." Kata Alin mengelak. Padahal Alin saat itu hanya tiduran. Mata kuliah dia tidak ada lagi. Ia hanya ke kampus apabila sudah membuat janji dengan dosen pembimbingnya.

"Ya udah, nanti kalau kamu gak sibuk kita ketemu ya." Kata Masa.

Alin hanya mengiyakan, lalu mematikan panggilan itu. Saat itu, Masa masih optimis. Jika nanti mereka bakal bertemu lagi dan Masa bisa menjelaskan beberapa hal tentang kejadian yang dulu dan jika semua seperti yang direncanakannya. Ia pun mengajak Alin menikah.

Bulan berikutnya, Masa pun sudah menjadi mahasiswa lagi. Jurusan ekonomi di perguruan tinggi swasta. Masa masuk di kelas karyawan, perkuliahan diadakan setiap setiap Sabtu dan Minggu dari pagi sampai sore. Masa mengambil itu agar hari-hari biasa ia bisa bekerja. Pekerjaan apa pun itu yang bisa memakai ijazah SMA-nya. 

Sebulan berlalu, menurut Masa otaknya pun masih sanggup mengikuti perkuliahan. Ia aktif dikelas. Banyak melakukan dialog dengan setiap dosen. Masa yang merasa sudah banyak tertinggal dan ia harus mengejar ketertinggalannya itu. Hanya ada 30 mahasiswa teman sekelas Masa. Masa lah yang paling muda usianya. Lalu kemudian Ryan dan sisanya adalah PNS-PNS yang sudah berusia 35 tahun ke atas. Yang katanya, kuliah sebab ingin menaikan golongan.

Waktu pertama kali melihat Ryan, Masa mengira Ryan adalah bule nyasar. Tapi setelah mereka bertegur sapa, untuk pertama kalinya Masa menyadari Ryan hanya blasteran. Lahir dan besar  di Indonesia ternyata, batin Masa setelah mereka berkenalan.

Setelah perkenalan itu, mereka menjadi akrab. Ryan yang ternyata seorang pemilik distro. Dan, Masa, selain bekas penjual sayuran di pasar, ia pun telah sukses mengembangkan bisnis kuliner keluarganya. Sehingga ketika ia tinggal telah memiliki dua cabang dan keduanya sudah berada di sebuah ruko yang selalu ramai. Mereka sering berdiskusi. Diskusi mereka tidak jauh dari perniagaan. Hingga akhirnya mereka sepakat untuk mendirikan bisnis pertama mereka. Yaitu kedai kopi. Yang ketika itu, konsep kedai kopi lokal seperti mereka masih beberapa di Jakarta. Kedai kopi  mereka pun berkembang dan membuka beberapa cabang di Jakarta dan bertahan.

Ryan dan Masa adalah dua orang pedagang yang saling melengkapi. Ryan, selain memiliki sumber dana, kenalan, Ia pun cukup percaya diri berbicara di depan umum. Sementara Masa, meski tidak banyak memiliki sumber dana dan kenalan. Tapi ide-idenya yang selalu di pakai Ryan untuk meyakinkan para rekan bisnis mereka dan pelanggan mereka. Seperti kelak mereka membuka bar itu adalah ide Masa. Dan, Ryan lah yang mencarikan investor mereka.

Masa lebih pendiam. Tetapi Masa pernah memberi tahu kepada Ryan, kalau ia malas berbicara di depan orang ramai hanya karena permasalahan aksen dan penyusunan kata yang berbeda antara orang Jakarta dan Medan. Bagi Masa itu bisa membuat investor membatalkan niatnya. Mendengarkan penjelasan itu, Ryan paham dan memaklumi.

Tapi di balik kesibukan Masa dengan kuliah dan bisnis kopinya. Dalam hati, Masa masih mengingat Alin. Ia pun ingin menelepon Alin lagi, setelah beberapa bulan yang lalu pernah ia menelepon Alin dan Alin tidak bisa di ajak bertemu.

Sekitar pukul 20:00 ketika itu, Masa pun menelepon Alin dan dijawab oleh Alin. Setelah menanyakan kabar, Masa pun mengajak Alin. Namun, Alin pun menolak lagi. Alasannya, membuat Masa terenyuh. Alin mengatakan kalau ia sudah memiliki Pacar.

Saat itu Alin, berbohong. Ia berbohong agar Masa berhenti meneleponnya. Tapi Alin tidak ingin mengatakan itu. Hingga yang ketiga kalinya Masa menelepon Alin.

Setahun sudah Masa di Jakarta. Kuliahnya lancar seperti yang ia harapkan, kedai kopinya lancar. Tetapi dengan Alin, masih belum ada kemajuan. Ia pun memberanikan diri menelepon Alin untuk yang ketiga kalinya.

"Halo!" Sapa Masa setelah panggilannya dijawab.

"Mau lo apalagi sih Sa? Gue muak sama lo." Suara Alin terdengar kesal.

"Aku mau ngajak kamu ketemu Alin." Kata Masa lembut.

"Gue gak bisa Sa!" Kata Alin. "Gini aja deh, lo jangan telepon gue lagi, entar suami gue marah." Alin pun mematikan panggilan Masa.

Mendengar itu Masa seperti disambar petir. Rindu yang ia tanam kini ia tuai dan berbuah nestapa. Ia terdiam cukup lama. Memikirkan apakah itu benar. Harapannya yang ia bangun ternyata terlalu tinggi hingga akhirnya harus dihancurkan sendiri olehnya. Masa pun menarik nafas panjang. "Oke Alin!" Batin Masa ketika itu.

Lalu sebulan dari kejadian itu Masa pun mendengar kabar burung kalau Alin menikah. Kabar burung itu juga mengatakan kalau Alin menikah diam-diam karena Alin hamil dan menikahnya pun nun jauh diantah barantah sana.

Mendengar kabar burung itu pun Masa semakin yakin untuk membenci Alin. Tapi Masa juga iba melihat Alin. Ada dalam hati kecilnya yang berkata, "kalau semua yang terjadi menimpa Alin saat ini juga karena mu. Dan, kau harus bertanggung jawab."

***
"Kayaknya kita udah kelamaan ini.". Kata Ryan. Memecah Lamunan Masa yang menyadari kalau mereka sudah 40 menit lamanya meninggalkan Alin dan Farah. Mereka pun bergegas meninggalkan coffee shop itu dan kembali ke kamar Alin.

Sesampainya di kamar Alin, orang-orang yang berada di dalam itu memperhatikan Masa dan Ryan yang baru masuk.

"Eh, belum pulang kamu Ann?" Kata Masa ramah seketika menyadari Annisya dikamar itu. Mendengar kalimat itu Alin dan Farah saling memandang merasa aneh. Dengan keramahan Masa kepada perempuan berjilbab ini. Sudah sekitar 30 menit yang lalu perempuan berjilbab ini bersama mereka dan dari tadi mereka memanggil perempuan ini memakai kata "dok". Tapi Masa hanya dengan nama saja.

Memang, saat ini Annisya tidak memakai jas putihnya. Hanya label nama lah yang membuat Alin dan Farah mengenali kalau perempuan berjilbab ini adalah dokter ketika tadi masuk. Karena pada label nama yang berbahan stainless itu masih menempel di bajunya dan bertuliskan dr. Annisya Gita.

"Selesai ini Bang." Jawab Annisya ramah. "Tadi niatnya mau nyamperin Abang. Tapi pas aku ke sini Abang gak ada. Ya udah aku tungguin aja Abang di sini. Sekalian ngobrol dengan Mbak Alin dan Mbak Farah." Annisya menjelaskan.

"Udah saling kenalan kan?" Tanya Masa. Ketiga perempuan itu tersenyum bersamaan. "Lin, Annisya dokter yang tadi siang menangani kamu." Lanjut Masa.

"Terus ini satu lagi Bos Ryan, tunangannya Farah."

Ryan dan Annisya pun saling berjabat tangan sambil mengucapkan nama masing-masing.

Annisya adalah dokter muda dan baru setahun bekerja di rumah sakit tempat Alin di rawat. Bisa dikatakan Annisya wanita yang cantik lagi meneduhkan. Belum lagi ketika tersenyum maka akan diiringi dengan lesung pipi pada pipinya yang kanan.

Annisya saat ini, memakai jilbab warna cream senada dengan celana kulot polos, dipadukan dengan kaos putih  polos berlengan panjang yang berbahan rib, dan  memakai sepatu slip on yang juga berwarna putih. Aura kesederhanaan pun terpancarkan dari Annisya.

Setelah semuanya saling mengenal. Mereka pun bersenda gurau. Sambil memakan buah-buahan yang dibawa oleh Farah dan Ryan. Setelah pukul 21:00 Annisya pun undur diri. Masa pun mengantarkan Annisya sampai ke parkiran mobilnya. Kemudian sekembalinya Masa ke kamar Alin giliran Farah dan Ryan yang  meminta izin meninggalkan mereka. Lalu, karena besok adalah hari Minggu Farah berjanji pagi-pagi sekali akan datang lagi.

***

Comments