SEMOGA AKU BAIK-BAIK SAJA
(Sebuah Cerpen)
Oleh: Abdi Rahmatsah Siregar
Anak ku yang pertama namanya adalah Agus Hermawan. Ia sudah menikah 10 tahun yang lalu dan telah memberikan aku sepasang cucu. Tapi aku sudah 4 tahun tidak bertemu mereka. Kepada cucu-cucu ku yang berumur 7 tahun, dan kedua berumur 5 tahun dari anak ku yang pertama ini. Anak pertama, menantu, dan cucu-cucu ku saat ini menetapkan di negeri Ratu Elisabeth II. Ahh, betapa rindunya aku dengan mereka.
Memang, sudah berulang kali anak ku, Agus, meminta ku untuk menetap bersama mereka. Tapi apalah daya ku, umur tidak bisa dibohongi, aku tidak muda lagi, harus berpikir berulang kali jika ingin menetap di sana. Di negeri yang tidak aku kenal sama sekali. Bahkan bahasanya pun tidak aku mengerti.
Rita Hermawan, anak ku nomor dua, pun juga menetap sangat jauh dari ku. Memang tidak diluar negeri, tetapi Timur Indonesia cukup jauh bagi ku. Belum lagi mereka selalu berpindah-pindah dari satu provinsi ke provinsi lainnya, mengikuti suaninya yang bertugas. Dan, dari puteri ku ini mereka telah memberikan aku seorang cucu perempuan yang tidak kalah cantik sepertinya ibunya.
Anak ku yang ketiga, Adi Hermawan, seorang perwira menengah, karirnya sangat bagus, tapi memang usia tidak ada yang tahu, satu setengah tahun yang lalu ia menyusul ayahnya, suamiku. Saat itu ia gugur, ketika menjadi utusan bangsa ini menjadi Pasukan Penjaga Perdamaian PBB di Timur Tengah. Padahal, anak ku ini baru menikah setahun tapi Tuhan punya kehendak lain. Dan, dua bulan yang lalu menantu dari anak ku yang ketiga telah menikah lagi. Ia pun meminta restu ku, aku merestuinya, tidak ada yang salah dengan itu. Menantuku itu muda, aku tidak mau dia merasakan kesepian diumurnya yang masih sangat muda.
Yang keempat, si bungsu, Septi Hermawan namanya. Putri ku ini masih tinggal satu kota dengan ku, masih bisa aku mengunjunginya dan sering menginap dirumanhnya beberapa hari, setiap bulannya. Putri ku ini juga memiliki sepasang anak, ganteng dan cantik. Dengan cucu-cucu ku inilah aku sering bermain ketika aku menginap di rumah mereka.
Malam ini, aku belum bisa tidur, padahal jam hampir menunjukkan pukul 12 malam. Tidak seperti biasa. Hati dan pikirian ku sedang tidak baik-baik saja. Hal ini terjadi sejak tadi siang. ketika aku hendak pulang dari rumah anak ku yang keempat, Septi.
Aku sudah seminggu menginap dirumah anak ku itu. Menemani putri dan cucu-cucu ku. Sementara itu, menantu ku sedang keluar kota. Dan, di hari ketujuhnya, tadi siang,aku kembali kerumah ku. Lalu apa yang menganggu pikiran ku? Kenapa membuat hati ku resah sampai malam ini?
***
"Ma, Tolong temenin Nadia dulu, Ma. Aku mau mandiin Nara."
"Ma, aku udah dari tadi manggil loh, ngapain sih Ma disitu?" Suara anak ku Septi, sangat nyaring terdengar. Ketika itu aku sedang berbicara dengan tetangga sebelah rumah anak ku itu. Sampai-sampai tetangga ku menatap prihatin kepada ku.
Lalu setelah semuanya selesai. Sekitar pukul 10 pagi, aku pun bermain dengan cucu-cucu ku. Dan, ketika putri ku hanya sibuk dengan hp-nya, duduk santai di sofa. Tapi Nara, cucu ku yang paling besar, berjalan menuju ibunya minta dibuatkan susu, sekali, kedua kali, ketiga kali, tidak digubris oleh Septi, sampai Nara merengek sejadi-jadinya. Entah kenapa, Septi yang saat itu sedang bermain hp bukannya meluluskan permintaan anaknya malah marah sejadi-jadinya. Dan, malah memarahi ku. Dia, berkata kepada ku, kalau aku tidak mau meringankan sedikit bebannya. Ketika mendengar itu, hati ku sakit, bahkan air mata ku jatuh.
Ini bukan kali pertama.
***
Setelah selesai sholat dzuhur aku pun pamit pulang kepada anak ku. Aku tidak langsung pulang. Aku menyempatkan mangunjungi pemakaman suami ku, yang memang searah kearah rumah ku. Dari rumah anak ku hanya menempuh satu jam. Setiap bulan sudah menjadi hal yang wajib bagiku untuk mengunjunginya. Walaupun hanya sekali. Entah itu hanya sekedar membersihkan pemakamannya, membawakan bunga, memanjatkan doa, bercerita, atau apapun itu yang bisa mengurangi rindu ku. Dan, bulan ini sudah ketiga kali aku mengunjunginya.
Sesampainya di pusara suami ku, aku langsung memanjatkan doa kepada Ilahi untuk suami ku.
"Aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Hari ini, hati ku begitu sakit. Karena anak kita, Septi. Tapi bukan hanya dia saja yang salah perangainya, semua anak kita, kecuali Adi, tapi dia pun sudah menyusul mu. Betapa malang aku ini. Kadang aku berpikir, apakah aku selama ini salah mendidik anak-anak kita? Apakah aku terlalu memanjakan anak-anak kita ketika kecil?
Kamu pasti tau, sejak aku menjadi orang ibu, aku tidak pernah menyusahkan orang tua dan mertua ku. Tapi kenapa yang ku rasakan ketika berada dikeluarga anak-anak kita, mereka seolah-olah tidak pernah berpikir mereka sudah punya keluarga. Mulai mengurus pasangan mereka, anak-anak mereka.
Terkadang, aku merasa seperti pelayanan bagi mereka."
Air mata ku jatuh.
"Belum lagi betapa temperamentalnya mereka.
Tapi memang bukan anak-anak kita saja seperti itu. Banyak aku perhatikan orang tua yang mengalami hal yang sama seperti ku. Apakah memang zamannya seperti ini, orang tua lah yang mengabdi kepada anak-anaknya. Entahlah aku pun tidak bisa menjawabnya.
Maafkan aku mengeluh pada mu tentang darah daging kita. Ya, biar bagaimana pun mereka darah daging."
Setelah aku merasa cukup dengan berkeluh kesah, aku pun pamit, melanjutkan perjalanan menuju rumah ku. Hingga malam menjelang. Resah ku tidak hilang. Aku hanya bisa berbesar hati. Semoga aku baik-baik saja, hanya itu pinta ku saat ini.
Memang, sudah berulang kali anak ku, Agus, meminta ku untuk menetap bersama mereka. Tapi apalah daya ku, umur tidak bisa dibohongi, aku tidak muda lagi, harus berpikir berulang kali jika ingin menetap di sana. Di negeri yang tidak aku kenal sama sekali. Bahkan bahasanya pun tidak aku mengerti.
Rita Hermawan, anak ku nomor dua, pun juga menetap sangat jauh dari ku. Memang tidak diluar negeri, tetapi Timur Indonesia cukup jauh bagi ku. Belum lagi mereka selalu berpindah-pindah dari satu provinsi ke provinsi lainnya, mengikuti suaninya yang bertugas. Dan, dari puteri ku ini mereka telah memberikan aku seorang cucu perempuan yang tidak kalah cantik sepertinya ibunya.
Anak ku yang ketiga, Adi Hermawan, seorang perwira menengah, karirnya sangat bagus, tapi memang usia tidak ada yang tahu, satu setengah tahun yang lalu ia menyusul ayahnya, suamiku. Saat itu ia gugur, ketika menjadi utusan bangsa ini menjadi Pasukan Penjaga Perdamaian PBB di Timur Tengah. Padahal, anak ku ini baru menikah setahun tapi Tuhan punya kehendak lain. Dan, dua bulan yang lalu menantu dari anak ku yang ketiga telah menikah lagi. Ia pun meminta restu ku, aku merestuinya, tidak ada yang salah dengan itu. Menantuku itu muda, aku tidak mau dia merasakan kesepian diumurnya yang masih sangat muda.
Yang keempat, si bungsu, Septi Hermawan namanya. Putri ku ini masih tinggal satu kota dengan ku, masih bisa aku mengunjunginya dan sering menginap dirumanhnya beberapa hari, setiap bulannya. Putri ku ini juga memiliki sepasang anak, ganteng dan cantik. Dengan cucu-cucu ku inilah aku sering bermain ketika aku menginap di rumah mereka.
Malam ini, aku belum bisa tidur, padahal jam hampir menunjukkan pukul 12 malam. Tidak seperti biasa. Hati dan pikirian ku sedang tidak baik-baik saja. Hal ini terjadi sejak tadi siang. ketika aku hendak pulang dari rumah anak ku yang keempat, Septi.
Aku sudah seminggu menginap dirumah anak ku itu. Menemani putri dan cucu-cucu ku. Sementara itu, menantu ku sedang keluar kota. Dan, di hari ketujuhnya, tadi siang,aku kembali kerumah ku. Lalu apa yang menganggu pikiran ku? Kenapa membuat hati ku resah sampai malam ini?
***
"Ma, Tolong temenin Nadia dulu, Ma. Aku mau mandiin Nara."
"Ma, aku udah dari tadi manggil loh, ngapain sih Ma disitu?" Suara anak ku Septi, sangat nyaring terdengar. Ketika itu aku sedang berbicara dengan tetangga sebelah rumah anak ku itu. Sampai-sampai tetangga ku menatap prihatin kepada ku.
Lalu setelah semuanya selesai. Sekitar pukul 10 pagi, aku pun bermain dengan cucu-cucu ku. Dan, ketika putri ku hanya sibuk dengan hp-nya, duduk santai di sofa. Tapi Nara, cucu ku yang paling besar, berjalan menuju ibunya minta dibuatkan susu, sekali, kedua kali, ketiga kali, tidak digubris oleh Septi, sampai Nara merengek sejadi-jadinya. Entah kenapa, Septi yang saat itu sedang bermain hp bukannya meluluskan permintaan anaknya malah marah sejadi-jadinya. Dan, malah memarahi ku. Dia, berkata kepada ku, kalau aku tidak mau meringankan sedikit bebannya. Ketika mendengar itu, hati ku sakit, bahkan air mata ku jatuh.
Ini bukan kali pertama.
***
Setelah selesai sholat dzuhur aku pun pamit pulang kepada anak ku. Aku tidak langsung pulang. Aku menyempatkan mangunjungi pemakaman suami ku, yang memang searah kearah rumah ku. Dari rumah anak ku hanya menempuh satu jam. Setiap bulan sudah menjadi hal yang wajib bagiku untuk mengunjunginya. Walaupun hanya sekali. Entah itu hanya sekedar membersihkan pemakamannya, membawakan bunga, memanjatkan doa, bercerita, atau apapun itu yang bisa mengurangi rindu ku. Dan, bulan ini sudah ketiga kali aku mengunjunginya.
Sesampainya di pusara suami ku, aku langsung memanjatkan doa kepada Ilahi untuk suami ku.
"Aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Hari ini, hati ku begitu sakit. Karena anak kita, Septi. Tapi bukan hanya dia saja yang salah perangainya, semua anak kita, kecuali Adi, tapi dia pun sudah menyusul mu. Betapa malang aku ini. Kadang aku berpikir, apakah aku selama ini salah mendidik anak-anak kita? Apakah aku terlalu memanjakan anak-anak kita ketika kecil?
Kamu pasti tau, sejak aku menjadi orang ibu, aku tidak pernah menyusahkan orang tua dan mertua ku. Tapi kenapa yang ku rasakan ketika berada dikeluarga anak-anak kita, mereka seolah-olah tidak pernah berpikir mereka sudah punya keluarga. Mulai mengurus pasangan mereka, anak-anak mereka.
Terkadang, aku merasa seperti pelayanan bagi mereka."
Air mata ku jatuh.
"Belum lagi betapa temperamentalnya mereka.
Tapi memang bukan anak-anak kita saja seperti itu. Banyak aku perhatikan orang tua yang mengalami hal yang sama seperti ku. Apakah memang zamannya seperti ini, orang tua lah yang mengabdi kepada anak-anaknya. Entahlah aku pun tidak bisa menjawabnya.
Maafkan aku mengeluh pada mu tentang darah daging kita. Ya, biar bagaimana pun mereka darah daging."
Setelah aku merasa cukup dengan berkeluh kesah, aku pun pamit, melanjutkan perjalanan menuju rumah ku. Hingga malam menjelang. Resah ku tidak hilang. Aku hanya bisa berbesar hati. Semoga aku baik-baik saja, hanya itu pinta ku saat ini.
- 05 April 2019 -
Comments
Post a Comment