Para Pekerja
(Sebuah Cerpen)
Oleh: Abdi Rahmatsah Siregar
Pukul 07:05. Rabu pagi nan teduh mengundang kemalasan bagi mereka yang bergegas untuk menempuh tujuannya hari itu. Begitu juga dengan Dindin. Ia masih saja bermalas-malasan di atas kasur yang sebenarnya tak empuk lagi untuk badan. Meski alarm telepon genggam berulang kali berbunyi dengan nada suara yang syaduh. Dindin tetap saja enggan beranjak. Lagi pula tidak ada
alasan Dindin untuk bangkit dari kasur keringnya itu.
"Hujan lah yang sederas-derasnya" Batin Dindin. Seketika melihat langit pagi tak ditemani matahari.
Dari balik jendela kamar yang tak bergorden itu. Memang cuaca pagi itu sedang mendung dan benar saja beberapa detik kemudian hujan pun turun dengan sejadi-jadinya. Ia pun memejamkan mata kembali melanjutkan tidurnya.
Dindin lelaki yang berumur 26 tahun ini baru saja diPHK dari tempat ia bekerja selama dua tahun belakangan. diPHK satu bulan yang lain membuat ia menjadi pengangguran. Gaji dan pesangon yang diberikan perusahaan sudah mulai menipis. Ia pakai untuk memenuhi kebutuhan hidup dan untuk membayar kamar kostnya selama tiga bulan ke depan. Tapi sepertinya untuk biaya hidup
hanya cukup dua atau tiga hari ke depan terlebih pekerjaan yang baru belum kunjung ada. 15 menit terlelap. Gemuruh guntur pagi itu begitu menggelegar membangun Dindin. Belum lagi kamar kostnya yang berada dilantai 3 menggertak hati bagi siapa yang mendengar guntur pagi itu. Dindin tak melanjutkan tidurnya. Ia pun mencari-cari telepon genggamnya yang ternyata ia temukan dibawah kolong tempat tidurnya.
Setelah membuka beberapa aplikasi pesan singkat pun masuk. Telepon genggamnya pun berbunyi.
"Aku tahu kenapa kau begitu kacau. Kau terlalu banyak berkhayal. Tidak ada yang semudah membalikkan telapak tangan", begitu isi pesan yang ia dapat.
Dindin terdiam selesai membacanya. Merasa bingung kenapa ia mendapat pesan dengan isi pesan tersebut. Setelah beberapa detik ia pun sadar kemarin malam ia mengirim pesan kepada si Bijaksana tapi pesannya itu berbalas dipagi hari yang malas.
***
Sama-sama seperti pagi-pagi sebelumnya, semenjak diPHK. Ia tak pernah mengisi perutnya dengan nasi ataupun sepotong roti yang ada hanya air putih untuk menganjal perut yang lapar. Hingga badan badannya pun turun dratis.
Mungkin bagi mereka yang ingin mengurangi berat badan bisa mencoba hal ini. Namun bagi Dindin, ia tidak ingin. Hanya saja apabila ia makan dengan normal. Seperti kebanyakan orang. Uangnya pun akan cepat habis sebelum waktunya. Meski sebenarnya uang pun sudah mulai habis sebelum waktunya. Adalah Bonnie tetangga kamar kostnya yang mengetuk pintu pagi itu.
"Kau tidak bekerja?" Tanya Dindin setelah mereka berhadapan digawang pintu.
"Aku sedang malas sekali. Lihat saja cuacanya. Kau tidak lapar?"
"Aku yang bayar." Lanjut Bonnie setelah melihat wajah datar Dindin.
"Sudah. Ayolah aku sudah Lapar."
Mereka pun sampai diwarung nasi yang tidak jauh dari kost-kostnya mereka.
"Enak benar jadi PNS. Bisa sesuka hati mau masuk atau tidak." Kata Dindin menyindir memulai pembicaraan. Sambil menunggu pesanan datang.
"Ahh... Tidak begitu juga" Sahut Bonnie dengan sedikit terkejut dengan perkataan Dindin. Bonnie dan Dindin baru bertetangga 4 bulan belakangan. Ia dipindah tugas dari Padang ke Ibukota Jakarta. Adalah seorang Pegawai Negeri Sipil disalah satu instansi pemerintahan. Jika dilihat dari raut wajah. Umurnya sudah pastilah mencapai kepala 4. Bisa kurang bisa juga lebih. Dengan golongan
lumayan tinggi memiliki jabatan namun ia belum menikah. Dan mereka sama. Sama-sama perantauan dari pulau Sumatera. Bonnie seorang yang sederhana. Lebih memilih tinggal dikamar kost-kostan yang sempit taraf penghasilan rendah seperti Dindin ketimbang harus mengontrak rumah atau apartemen. Pernah suatu kali Dindin bertanya kenapa Bonnie mau tinggal di tempat seperti ini. Alasannya membuat Dindin terdiam. Kata Bonnie menjelaskan kalau ia anak yang paling tua dari 7 bersaudara lalu 3 adiknya yang paling kecil semua biaya ya sekolahnya ia yang menanggung sementara 3 adiknya yang lain sudah menikah dan mengurusi keluarganya masing-masing. Semenjak itu Dindin tau kenapa pria matang ini belum menikah tanpa harus bertanya.
"Bagaimana dengan pekerjaan mu? " Tanya Bonnie.
"Sudah ada panggilan interview?".
Mendengar pertanyaan itu Dindin menunjukan wajah tidak tertarik.
"Baiklah" sahut Bonnie seolah mengerti maksud wajah Dindin.
"Begini saja kau buat lamaran mu ke perusahaan ini." kata Bonnie sambal menunjukkan layar telepon genggamnya.
"Setelah kau mengirimnya kau hubungi aku. Soalnya itu perusahaan kawan lamaku tapi kau jangan berharap lebih".
"Baiklah." kata Dindin datar.
***
Sementara itu dihari yang sama. Ditempat yang berbeda. Disebuah gedung perusahaan jasa pengiriman barang. Bos perusahaan tempat Dindin bekerja sebelumna sedang marah besar kepada manajer personalia. Disebabkan karyawan yang ia pecat itu salah satunya adalah Dindin dan yang membuat Bos tersebut bertambah naik pitam si Manajer tersebut lebih memilih memasukkan nama Dindin yang termasuk karyawan berprestasi lantaran si Manajer tidak mau keponakannya yang di PHK.
Waktu itu saat penandatanganan pemberhentian. Ditengah perusahaannya sedang dilanda masalah finansial. Dan memang salah satu solusinya harus memangkas jumlah karyawan. Belum lagi perihal diluar kantor serta tetek bebeknya beban pikiran Bos perusahaan pun sangat banyak. Waktu itu. Saat menandatangani. Ia tak lagi membaca semua daftar nama yang hendak diPHK.
"Kau tau dia itu salah satu orang yang paling jujur dan disiplin yang saya temui diperusahaan ini. Sekira kau pun pasti menyadari semua itu selama ini. Lalu kau... Ah sudahlah." Suara Bos perusahaan begitu keras. Membuat si Manajer tertunduk diam menerima semua amarah bosnya.
"Saya tidak mau tahu Dindin harus kembali lagi ke perusahaan ini."
"Sekarang silahkan tinggalkan ruangan saya." Perintah Bos perusahaan tersebut dengan nada suara yang masih marah.
***
Mereka telah kembali kekamarnya masing-masing. Perut kenyang pagi itu. Wajah Dindin yang biasanya terlihat pucat. Pagi itu sedikit lebih cerah.
Sesampainya dikamar Dindin teringat dengan pesan singkat si Bijaksana. Dalam hati ia sebenarnya setuju dengan apa yang dimaksud oleh si Bijaksana. Dan ia pun mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya. Kalau rezeki takkan kemana. Begitu kira-kira isi hati Dindin saat itu. Seketika itu ia teringat akan perusahaan yang ditawarkan oleh temannya tadi. Dindin pun mempersiapkan segala sesuatunya. Hampir sejam lebih mempersiapkan semua keperluan untuk lamaran tersebut. Dengan perasaan percaya diri. Dengan bekal pengalaman kerja yang ia lewati. Ia pun mengirimkannya melalui email. "Kali ini pasti diterima." bisiknya dalam hati.
***
Setelah dua hari berlalu. Ia pun di panggil untuk melakukan tes tahap awal. Wawancara. Senang bukan main Dindin ketika mendapatkan kabar tersebut. Bahkan sepanjang ia menuju perusahaan tersebut senyum bahagia terukir diwajahnya. Begitu juga sekembalinya. Senyum semakin bahagia dan lebar. Sebab ia langsung diminta untuk bekerja keesokannya. Sesampainya dikamar kost. Ia masih tidak bisa menyembunyikan perasaan tersebut. Bahkan sampai malam harinya perasaan itu beium hilang. Ada ia merasakan kebenaran atas isi pesan si Bijaksana tersebut.
"ikhlas adalah kunci" begitu ia mentelaah pesan tersirat dari si Bijaksana.
Namun senyum itu hilang ketika ia menerima pesan singkat yang masuk. Isinya menyatakan kalau ia diharapkan kembali untuk bekerja diperusahaan yang memberhentikannya tersebut. Dahinya berkerut membaca pesan tersebut. Perasaannya bingung. Dalam hati ia sebenarnya sangat betah diperusahaan yang lama tempat ia bekerja. Tapi fikirannya juga ingin mencoba suasana baru dan ditambah lagi posisi yang ia lamar pun lebih tinggi ketimbang diperusahannya yang sebelumnya. Pastinya gaji pun lebih baik. Ketika ia memikirkan mana yang akan ia pilih. Belum sempat memutuskan ia pun tertidur. Bahkan keesokan paginya ia tidak bangun lagi untuk selama-lamanya.
-11 April 2018-
Comments
Post a Comment